Ya Allah, Kapan Aku Mengangkat Koperku Sendiri...?
Saat itu adalah bulan Muharram tahun 1424 H. Seorang pria bernama
Mamat yang
bekerja di Bandara Soekarno-Hatta sedang sibuk mengangkat koper-koper
penumpang. Koper bukan sembarang koper. Semua koper yang baru saja
dibongkar
dari pesawat Saudia Airlines itu memiliki kesamaan; berbentuk besar,
berwarna biru tua dan bertuliskan nama pemilik, nomer kloter dan
asal kota.
Koper-koper tersebut adalah milik jemaah haji yang baru saja selesai
menunaikan ibadah haji di Tanah Suci pada tahun itu.
Setiap kali mengangkat satu koper, Mamat selalu membaca basmalah dan
shalawat kepada Rasulullah Saw. Sudah berpuluh koper yang ia angkat,
hingga
rasa itu muncul di dadanya. Pada kali selanjutnya, tatkala tangannya
menggamit pegangan koper, ia sempat membaca doa kecil kepada Allah
Sang
Penguasa alam di dalam hatinya, źa Allah, kapan saya mengangkat
koperku
sendiri seperti ini...?!Sebenarnya yang ia maksud adalah ia begitu
berharap dapat berangkat haji ke Baitullah. Rupanya Allah mendengar
jeritan
hati Mamat. Hanya selang 4 bulan saja, Subhanallah, namanya keluar
sebagai
salah seorang dari 17 orang pegawai yang mendapatkan jatah naik haji
tahun
itu atas biaya kantor. Mamat pun amat bersyukur kepada Allah Ta'ala
karenanya.
Namun kebahagiaan ini tidak serta-merta membuat Mamat puas hati. Ia
tahu
bahwa berita ini boleh jadi akan membuat Iis, istrinya bersedih.
Sebab hanya
dia saja yang dapat berangkat naik haji, padahal mereka berdua
selalu berdoa
kepada Allah Swt agar dapat berangkat naik haji bersama-sama. Maka
tatkala
menyampaikan berita ini pun, Mamat amat hati-hati dalam mengemasnya.
Ŵemoga
tidak ada bahasa yang terpeleset dan melukai hati itulah harapan
Mamat.
Ūs.... Akang minta maaf ya sama kamu...Mamat mencoba membuka
percakapan
dengan meminta maaf terlebih dahulu. Ŧmangnya ada apa, Kang?sang
istri
bertanya. Ţkang ingin beritahukan sesuatu ke kamu, tapi kamu jangan
marah
ya... apalagi sedih...?sambut Mamat. Kalimat itu membuat Iis
menjadi
gelisah. Ia coba tenangkan hati untuk mendengar berita gak enak ini.
Mamat
pun kemudian menyambung kalimatnya dengan nada hati-hati, Ūs...
Akang hari
ini mendapat
kejutan. Akang terpilih menjadi salah satu karyawan yang akan
diberangkatkan
haji oleh kantor...
Ţlhamdulillah. ...!!!Iis berteriak kegirangan. Ia langsung
melompat ke
arah Mamat suaminya dan memeluknya dengan erat. Dengan bersemangat
Iis
berkata, Ŭirain berita sedih...! Berita bagus kayak begini kok
dibawa sedih
kayak begitu Kang? Iis ikut senang ngedengernya!źa... emang
sebenarnya
ini
adalah berita gembira, cuma yang bikin Akang takut membuat kamu
sedih adalah
karena Akang gak punya duit untuk ngeberangkatin kamu, Is! Akang
khan cuma
pegawai kecil seperti kamu tahu... Kalau saja, duit itu ada, tentu
Akang
akan ajak kamu juga untuk berhaji ke rumah Allah!Iis lalu mengerti
kegundahan yang berkecamuk dalam hati suaminya. Sambil tersenyum, Iis
berujar, Ŷdah kang gak usah dipikirin, Iis rela melepas Akang naik
haji.
Tapi jangan lupa doain Iis ya biar cepat nyusul!Akhirnya, apa yang
dikhawatirkan Mamat tentang perasaan istrinya pun tidak berlaku.
Sekali lagi
Mamat bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla
karenanya.
Hari itu adalah jadwal Mamat untuk berangkat haji. Seperti kebiasaan
orang
kampungnya, maka kepergian Mamat diantar dengan adzan dan iqamat.
Pembacaan
shalawat dustur yang dikumandangkan oleh seorang ustadz pun membuat
semua
orang haru meneteskan air mata. Saat itulah, Mamat berpamitan dengan
menyalami
serta merangkul orang-orang yang ia kenal seraya meminta restu. Semua
anggota keluarga, kerabat, tetangga, sanak famili menghadiri acara
itu.
Semuanya sudah bersalaman dan berangkulan dengan Mamat. Hingga saat
Mamat
hendak naik ke atas kendaraan, saat itulah tiba giliran Iis mencium
punggung
telapak tangan suaminya dan suasana haru pun tercipta. Air mata
suami-istri
itu pun jatuh membasahi bumi. Saat mereka berdua berpelukan, Iis
berucap,
Ŭang Mamat...., jangan lupa untuk doain Iis ya di Baitullah...
panggil-panggil nama Iis di sana. Insya Allah, Iis dan anak-anak
ikhlas
ngelepas Akang. Semoga kita semua,dengan doa kang Mamat, bisa nyusul
berangkat haji bareng-bareng. ..!Tak kuasa Mamat menahan tangis.
Pelukan
itu makin ia pererat. Ia hanya mampu mengucapkan kata Amien Dalam
- Hide quoted text -
hati,
Mamat berucap agar Allah Swt juga berkenan mengajak istri dan anak-
anaknya
untuk berhaji seperti dia. Di dalam kendaraan Mamat masih sempat
berdoa
kepada Allah Swt untuk keluarga yang ia tinggalkan: ALLAHUMMA ANTAS
SHAHIBU
FIS SAFAR, WAL KHALIFATU FILAHLI. HR. Muslim źa Allah, Engkau adalah
pendampingku dalam perjalanan. Engkau juga yang menggantikan aku
untuk
menjaga keluarga yang ditinggalkan. .. Amien. HR. Muslim. Usai
membaca doa,
ia pusatkan konsentrasinya untukkhusyuk beribadah kepada Allah Swt.
42 hari
Mamat menuntaskan semua ritual ibadah haji di kota suci Mekkah Al
Mukarramah
dan Madinah Al Munawwarah.
Semuanya dijalani dengan begitu khusyuk dan nikmat. Sesampainya di
tanah air
pun, ia langsung mendapatkan sebuah titel baru dari masyarakat. Kini
ia
dikenal dengan panggilan Haji Mamat di kampungnya.
Lepas 6 bulan setelah kepulangannya dari tanah suci. Iis istrinya
yang dulu
sempat berucap ikhlas melepas kepergian suaminya ke tanah suci, pagi
itu ia
kelepasan berujar bahwa dirinya sebenarnya begitu ingin juga
berangkat ke
tanah suci untuk berhaji. Kalimat itu dituturkan dengan nada sedih
yang
mengguncang hati Mamat. Kegundahan itu memang pernah diduga
sebelumnya oleh
Mamat. Namun baru kali ini kegundahan itu membuncah, dan tercetus
lewat
penuturan
akan kerinduan untuk datang ke rumah Allah Swt dalam ritual haji.
Muslim
atau muslimah mana yang tidak mau untuk berhaji? Maka demi menghibur
hati
Iis, Mamat pun berujar kepadanya, Ūs... kamu memang berhak untuk
berangkat
haji seperti orang lain, tapi Akang belum cukup punya uang. Sekarang
kita
hanya mampu untuk berdoa kepada Allah Swt.... Dia Maha Kuasa....
Jangankan
minta haji.... minta yang lebih dari itu Dia pun amat kuasa. Nanti
malam
kita bangun ya untuk shalat tahajud...! kata ustadz, doa pada
sepertiga
malam terakhir amat dikabul. Nanti kita doa sama-sama untuk minta
naik haji.
Insya Allah akan dikabulkan.. . percaya deh!
Demikian ajakan Mamat kepada istrinya untuk melakukan shalat tahajud
dan
berdoa bersama nanti malam. Dan jakan itu, disambut dengan anggukan
kepala
oleh Iis
tanda setuju. Rupanya Mamat pulang dari kerja tidak seperti biasa.
Hari itu ia tiba di rumah lewat dari pukul 20.00 WIB. Rupanya ada
pekerjaan
ekstra yang ia lakukan. Biasanya Mamat sudah tiba di rumah pukul 5
sore.
Mungkin, ada pesawat lain yang tiba di luar jadwal, sehingga
beberapa kuli
panggul seperti Mamat disiagakan untuk bongkar muatan. Mamat pulang
dengan
badan yang letih. Usai menjalani shalat Isya, ia langsung rebahan di
atas
kasur dan langsung tertidur. Rasa letih membuatnya lupa untuk makan
malam
terlebih dahulu, atau menyapa keluarganya yang masih menunggu
kedatangannya.
Iis dapat memaklumi hal itu. Tidak beberapa lama kemudian, Iis pun
menyusul
tidur di atas ranjang bersama suaminya.
Seperti apa yang telah mereka janjikan, Iis terjaga dan bangkit dari
tidur
pada pukul 3 pagi. Kemudian ia tepuk-tepuk kaki suaminya. Karena
terlalu
letih, Mamat tak sanggup untuk bangkit dan hanya berujar,
ah...ah...!tanda bahwa ia tak sanggup membuka mata. Iis langsung
bangkit menuju kamar
mandi. Usai berwudhu, ia kembali lagi ke kamar untuk bertahajud.
Sajadah
telah dibentangkan dan mukena pun telah ia kenakan. Sebelum melakukan
shalat, untuk kedua kalinya Iis menepuk kaki Mamat agar ia bangun dan
melakukan shalat tahajud bersama-sama. Sekali lagi, Mamat hanya
mengeluarkan
kata, Ţhh...ahh...! Ia terlalu lelah untuk bangkit dan menyusul
istrinya
untuk bertahajud. Iis pun memaklumi. Raut wajah Mamat yang letih
sudah
mengabarkan bahwa ia terlalu lelah bekerja hari itu. Iis pun
melapalkan
takbiratul ihram tanda ia memulai shalat tahajud. Begitu khusyuk
shalat yang
Iis dirikan, dan di atas pembaringan Mamat pun menyaksikan sosok
istrinya
yang bermukena sedang menjalankan shalat. Namun ia dalam kondisi
antara
tidur dan terjaga. Kata orang, ini adalah tidur ayam. Tidur tak mau,
bangun
tak kuasa. Setiap gerakan shalat yang Iis lakukan selalu ia iringi
dengan
tetesan air mata. Sungguh..., seolah Allah Swt hadir menyambut
kedatangan
Iis dalam keheningan malam itu. Hingga kedekatan dengan Sang Maha
Pencipta
pun dapat dirasakan oleh Iis yang
menjalankan shalat tahajud. Tak terasa waktu bergulir dengan cepat.
Sudah
satu jam
lebih Iis melakukan shalat dan dzikir kepada Allah Swt. Waktu telah
menunjukkan pukul 4 lebih. Dan ia berkeinginan untuk bermunajat
kepada Allah
Swt dalam
lantunan dan rangkaian doa yang ia bacakan. Ţllahumma, ya Allah...
Izinkan
hambaMu ini untuk dapat berhaji ke rumah-Mu. Mudahkan jalan hamba....
Lapangkanlah rezeki kami. Engkau Yang Maha Kuasa atas segalanya... .
Berikan
perkenanmu agar aku sanggup datang ke rumah-Mu untuk beribadah dan
memakmurkannya. .. Dengarkan doaku dan Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu...!
Dalam kesyahduan doa yang dibaca oleh Iis kepada Tuhannya, rupanya
Mamat pun
sempat mengamini di dalam hati tanpa sepatah kata pun terucap.
Sungguh,
malam itu telah terbangun sebuah jalinan suci antara seorang hamba
dengan
Allah Swt dalam rangkaian doa yang penuh hikmat dan cita. Adzan
Shubuh mulai
terdengar di beberapa masjid dan mushalla. Untuk terakhir kali, Iis
membangunkan Mamat
suaminya sambil berujar, űak Haji... ayo bangun! Malu sama
tetangga. Masa
sudah haji enggak shalat Shubuh berjamaah? Ayo bangun, Kang....!
Mamat pun
bangkit. Berat sekali rasanya ia mengangkat badan. Setelah berwudhu,
ia pun
mengenakan pakaian yang bersih lalu berangkat menuju mushalla untuk
melaksanakan shalat Shubuh. Mamat mengucapkan salam saat masuk
kembali ke
rumah. Iis dan anak-anak pun sudah bangun semua. Inilah rumah yang
berkah.
Semua sudah terjaga dan bangkit untuk menyongsong hari yang indah.
Mamat
kemudian meminta
Iis membuatkan secangkir kopi untuknya. Kemudian dengan tasbih di
tangan, ia
baru saja hendak menempelkan pantatnya ke kursi sofa di ruangan
depan.
Namun tiba-tiba hasratnya untuk duduk, dihentikan oleh dering telfon
yang
berbunyi keras di pagi hari. Mamat pun mengangkat gagang telfon.
Assalamulaikum. .... ini dari mana dan mau bicara dengan siapa?
Mamat
membuka pembicaraan. Ůat... ini teh Sulis, Iis ada nggak?demikian
suara
di seberang menjawab. Mamat pun tahu bahwa orang yang menelfon ini
rupanya
adalah kakak iparnya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Mamat pun
memanggil
Iis yang saat itu sedang hendak membuatkan kopi untuknya. Mamat
kembali
duduk di atas kursi sofa. Sementara Iis duduk di lantai untuk
menerima
telfon. Baru saja Iis mengucapkan salam kepada teh Sulis, namun
setelah itu
tidak ada satu patah kata pun yang meluncur dari mulut Iis. Yang ada
adalah
deraian air mata dan kata, ya Teh!berulang- ulang diucapkan.
Pembicaraan
telfon di pagi hari itu sudah lebih dari 10 menit berlangsung.
Melihat
istrinya terus menangis, Mamat menduga bahwa ada berita buruk yang
terjadi
terhadap keluarga hingga pagi-pagi begini sudah menelfon dan membuat
istrinya menangis. Mamat mengira bahwa ada salah seorang familinya
berpulang
kepangkuan Ilahi. Gagang telfon itu kemudian diletakkan Iis. Ia masih
sesenggukan menahan tangis. Iis mencoba mengangkat wajah dan
menghadap ke
arah suaminya. Saat itu Mamat mencoba menyelak dengan pertanyaan, Ŵ
iapa
yang
meninggal, Is..?Masih sesenggukan Iis menjawab, Ũak ada yang
meninggal,
Kang!l alu kenapa kamu menangis kayak begitu, emangnya berita
sedih apa
yang
diceritain teh Sulis?
Mamat masih mengejar dengan pertanyaan yang
lebih
menukik.
Saat itulah Iis menceritakan hal sebenarnya, Ŭang...., barusan teh
Sulis
bilang bahwa ia berniat berangkat haji tahun ini. Kebetulan kang Andi
suaminya lagi banyak kerjaan. Kang Andi gak bisa nemenin.... Teh
Sulis tadi
nanya saya, kamu khan belum berhaji, mau gak saya ajak? Teh Sulis mau
bayarin biaya haji saya.... tapi saya disuruh minta izin dulu ke
Akang.
Iis gak nyangka, Kang.... begitu cepat Allah menjawab doa yang baru
saja Iis
sampaikan dalam tahajud. Sekarang, pilihan mah ada di Akang. Jika
Akang
izinkan, saya siap. Kalau Akang enggak izinin saya juga ikhlas...!
Iis
berhenti sejenak mengatur nafasnya yang masih sesenggukan. Air mata
itu
masih menetes tanda haru dan syukur atas doa yang Allah Swt kabulkan.
Sementara Mamat masih terdiam, terperangah dan takjub atas kemurahan
Tuhan.
Mamat langsung merangkul istrinya ke dalam dekapan. Mamat berujar, Ŭ
amu
boleh berangkat haji untuk beribadah dan nemenin teh Sulis. Akang
ikhlas
mengizinkan kamu dan merawat anak-anak di rumah. Silahkan kamu
berhaji untuk
melengkapi agama kamu,
Is!Keduanya masih berpelukan erat tanda haru dan syukur atas
nikmat Allah
Swt yang tiada ternilai. Dalam keharuan tersebut ternyata masih
tersisa
sebuah
penyesalan dalam dada Mamat yang kemudian terbersit di hatinya, Ť
oba, saya
ikut bangun tahajud dan berdoa kepada Allah untuk minta haji.
Mungkin bisa
berangkat bareng-bareng juga kali ya....?!Itulah kisah sepasang
suami-istri hamba Allah Swt yang dimudahkan untuk berhaji ke
Baitullah.
Semoga Anda dan saya dapat menerima anugerah serupa. Amien!
Ţllah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.(QS. 2:185)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar