Rabu, 16 Maret 2011

Kaca Spion (Catatan Andy Noya)

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri
Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada kerinduan
dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca buku,
melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado yang dulu
selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado
yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu
ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal
ini gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya
juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?

Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya
yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke
perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain karena
harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang tidak mampu
saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya merasa begitu bahagia.
Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya
melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru,
sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan
perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di
luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu,
inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring
sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada
uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop
out dari kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan
Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis
Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus
meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan
Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut
jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi
gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan
tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri saya
sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak saya punya
penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya
tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya . Sejak
kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas dan menjadi
trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan tahun. Saya bersama
seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain bola. Sepeda milik teman
yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil. Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya
tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah saya
langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang sebenarnya
sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan
Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk
disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter,
tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya
bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama
kemudian, saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil
datang. Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya
dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion
mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu,
pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan
penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu
itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan,
order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma
satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan
saya - harus bisa bertahan hidup sebulan.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap
akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang.
Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang
untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat
orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya
dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil
baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang
hanya menumpang di sebuah garasi?

Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu
juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil
itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang kaya.
Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban mobil-mobil
mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya. Jika musim
layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang kaya. Saya menawarkan
jasa menjadi tukang gulung benang gelasan ketika mereka adu layangan. Pada
saat mereka sedang asyik, diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang
gelasannya saya bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil
melakukannya, saya puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang kaya di
dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil mahal jahat.
Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati
nurani.
Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah
begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak enak
di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah. Hal yang
sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri. Dia hanya
tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau gado-gado
langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah
merasakan berbagai jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan
gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya
kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,''
ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba
meyakinkan, "Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras."
Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya
dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu
jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada
ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi sensisitif.
Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya
takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah.
Berubah menjadi sombong.
Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak sensitif.
Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca spionnya saya
tabrak.

Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam kehidupan
sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika mobil saya
ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang yang dibonceng
terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang,
sungguh ujian yang berat untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan
mendamprat pemilik motor yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika
menyadari yang dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena
terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok.
Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu
serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang
merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu,
yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas
keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan
hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang
anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak
ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh
membiarkan benih kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok
berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan begitu
saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak
ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya
rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang pahit

Tidak ada komentar: