Jumat, 04 Oktober 2013

Ngidam Salah Sasaran

Umumnya, saat hamil yang merasakan ngidam, ingin ini ingin itu adalah si calon ibu. Namun, dalam kasus rumah tangga saya pada kehamilan anak pertama ini, yang merasakan ngidam itu (sepertinya) justru suami saya, sedangkan saya kebagian huwek-huwek dan lemesnya saja .... :-D

Mungkin memang benar kata orang, ngidam itu adalah keanehan. Bagaimana tidak, saya kerapkali terheran-heran sampai tersenyum geli dengan "ngidam yang dirasakan suami saya". Mulai dari makan mangga muda, kepingin bubur mutiara, sampai kegemarannya selama saya hamil ini yang rada "aneh". Suka warna-warna cerah, seperti pink, merah, orange, ungu muda, OMG! Padahal, selama hamil ini saya lebih cenderung senang pada warna-warna netral, coklat, biru dongker, dan semua yang praktis. Daaaan, suami saya juga senang menguncir rambut yang sejumput rumput :-D *jangan-jangan anak kami perempuan nanti.

Banyak lagi ngidam anehnya yang enggak dapat saya ungkapkan di sini, yang pasti lucu dan bikin si suami tersipu malu kalau kami flashback ceritanya :-D

Sesuatu yang aneh juga terjadi pada saya, sejak anak dalam kandungan saya sudah mulai memberikan "gerakan", itu rasanya kompak banget sama ayahnya aka suami saya. Kalau suami saya tidur hadap ke kanan, saya ke kiri, tak lama kemudian calon anak kami ini seperti meminta saya hadap ke kanan juga, begitu pula sebaliknya, pokoknya maunya mengikuti arah tidur ayahnya. Mulai dari gerakan halus sampai gerakan heboh terjadi di dalam perut jika saya tidak ikut arah tidur ayahnya, begitu arah tidur sudah sama, langsung deh anteng si calon anak (_ _!)

Begitu pula jika sudah jam pulang kerja suami saya, calon anak kami akan bergerak-gerak, apalagi kalau mendengar suara salam suami saya dari pintu, tambah heboh. Kalau lagi anteng aka diam, dipanggil-panggil ayahnya, cepat banget responnya, apalagi kalau diajak ngobrol, berasa "nih anak kok masih dalam perut uda kompak banget sama ayahnya!" :-)

'Nak, nanti shubuh bangunin ayah sama bunda, ya!"
Dan, menjelang adzan shubuh, calon anak kami ini pasti sudah bergerak-gerak, kalau saya masih tidur, gerakannya akan bertambah heboh sampai saya benar-benar terbangun.

Kalau sudah lewat Pkl.22.00wib masih bergerak-gerak, lalu suami saya bilang : "Nak, uda malam, tidur yuk, jangan bergadang, biar besok pagi bunda lebih fresh (kayak ikan-fresh)"
langsung gerakannya mulai pelan dan kemudian anteng dalam perut. Weleh-weleh, luar biasa ....

Selamat menikmati proses menjadi ibu, hal yang benar-benar luar biasa, fabiayyi alaa irabbikuma tukadziban, Alhamdulillah .... :-)

Genggaman Terakhir

Ketika melahirkan nanti, keinginan terkuat saya hanya ingin didampingi oleh suami saya ....

teruntuk suamiku,
Jika nanti di saat melahirkan adalah terakhir kalinya kita dapat bergenggaman tangan, mohon dimaafkan setiap kesalahan sa, maafkan jika selama perjalanan waktu mendampingimu ternyata sa belum bisa menjadi istri yang sempurna, maafkan ....

teruntuk suamiku,
Jika saat melahirkan nanti merupakan genggaman terakhir kita, harapan sa jadilah selalu ayah yang memberikan teladan yang baik untuk anak kita, contoh keshalihan, pembimbing yang bersahabat bagi anak kita, didiklah ia seperti yang sering kita musyawarahkan bersama, semoga ia menjadi amal jariyyah bagi kita, Aamiin ....

teruntuk suamiku,
Jika saat dirimu menguatkan kala persalinan adalah genggaman terakhir kita, tolong jangan berhenti mendoakan sa, semoga Allah mengampuni dosa-dosa sa yang tak terhitung banyaknya ini. Semoga Allah mengasihi sa, jangan lupakan sa, jangan berkurang menyayangi sa meski jasad tak pernah bertemu lagi.

teruntuk suamiku,
Jika hari itu menjadi genggaman terakhir kita, sa ridha jika kelak dirimu hendak mencari ibu pengganti untuk anak kita. Hanya saja amanah sa, carilah ibu pengganti yang shalihah, yang dapat menyayangi anak kita dengan tulus layaknya ibu kandung, dan yang terpenting bermufakatlah bersamanya sebelum memutuskan semuanya.


I Love You because of Allah,

Istrimu, Sarah.

H- 2w

Tak terasa 36 minggu sudah dilalui. Ya, menurut prediksi dokter, insya Allah lebih kurang tiga minggu lagi saya akan melahirkan anak pertama kami. Moment USG kali ini benar-benar membuat saya ingin menangis. Bagaimana tidak, selama tujuh bulan kehamilan, baru di bulan kedelapan ini BB (Berat Badan) calon bayi kami berada di garis normal, 2,3kg. Setelah sebelumnya, selalu bobotnya berada lumayan jauh dari garis normal, kurang 400gr-600gr. Sedih sekali. Di bulan kedelapan ini pula, Alhamdulillah, posisi kepala bayi saya juga sudah berada di bawah, setelah sebelumnya selalu berada di atas, membuat saya khawatir tidak dapat melahirkan secara normal.

Tak terasa 36 minggu sudah saya menjalani kehamilan ini. Rasanya? Amazing. Haru, bahagia, semua campur aduk jadi satu. Kehamilan yang membuat saya semakin mencintai orang tua, suami, dan sahabat-sahabat saya. Bagaimana tidak, mereka selalu menguatkan saya "tak semua ibu hamil bisa jadi super women".

Seringkali saya stres ingin bekerja, ingin punya penghasilan agar tak memberatkan suami saya, agar dapat membantu keluarga saya. Selalu berusaha untuk kuat, hasilnya ... selalu berujung KO. Semakin saya memaksakan diri, semakin membuat kondisi saya lebih parah, ujung-ujungnya saya tambah stres. Merasa depresi sendiri dengan kondisi saya.

Sejak awal kehamilan, bisa dibilang saya selalu bedrest, terutama empat bulan pertama, dimana berat badan saya seharusnya bertambah, saya malah kehilangan bobot hingga sepuluh kilogram karena hiperemesis. Seharian hanya bisa menghabiskan segelas teh hangat. Tak lebih. Muntah dari pagi sampai malam, banyak bergerak sedikit langsung keluar flek, tak bisa duduk akhirnya hanya bisa berbaring. Bulan-bulan pertama kehamilan, saya tak lepas dari obat penguat kehamilan, obat anti kontraksi, dan obat-obat lain yang membuat saya semakin semaput rasanya.

Pernah di semester pertama kehamilan, saya mengikuti suami ke Jakarta untuk suatu keperluan, alhasil, saya pendarahan. Saat itu saya benar-benar takut. Takut kehilangan buah hati kami. Suami tak kalah cemas. Meski berusaha ditutupi, saya dapat melihat dengan jelas kecemasan di wajahnya, merasakan hal yang sama. Alhamdulillah, setelah mendengar detak jantung calon buah hati kami saat di RS, rasanya bahagia dan lega sekali. Subhanallah... itulah pertama kalinya saya dan suami mendengar detak jantungnya. Haru ....

Hingga minggu ke-36 kehamilan ini, tak cukup hanya rasa terima kasih yang dapat saya berikan untuk suami saya. Mengingat selama menjalani kehamilan pertama ini, bisa jadi beliau-lah yang paling lelah. Lelah mengurusi saya. T_T

Mengurus semua keperluan saya, mengambil alih semua tugas-tugas saya, mencuci, menyetrika, memasak, mencuci piring, menyapu, merawat saya, menyuapi saya, sampai membersihkan muntah saya yang kadang tak terkontrol hingga mengotori tempat tidur *nangis

Setiap pagi sebelum ke kantor, beliau selalu menyuapkan teh hangat sesendok demi sesendok untuk saya, menyiapkan biskuit dan teh hangat cadangan selama ia di kantor, meletakkan di sisi tempat tidur yang bisa tangan saya jangkau tanpa harus duduk. Setiap istirahat siang, ia menempuh jarak tak kurang dari setengah jam perjalanan dari kantor ke rumah hanya untuk menyuapi saya makan, membantu saya berwudhu, menyiapkan nasi dengan sayur bening, menyuapkan saya meski seringkali semua kembali termuntah setelah selesai makan. Pulang kantor pun, beliau masih mengurusi saya, membersihkan badan saya, menyalin pakaian, memijit kaki dan kepala saya agar saya merasa lebih enakan. Beliau juga men-downlod berbagai film animasi yang lucu-lucu agar saya tak bosan. Hampir sembilan bulan sudah beliau melakukan semua itu untuk saya.Fabbiayyi alaa irrabbikuma tukadziban, ucapan terima kasih sungguh tak cukup rasanya untuk beliau, suami saya .... T_T


Sejak memasuki semester kedua, jantung saya mulai sering sakit. Di bulan ke-tujuh kehamilan saya lalu, saat bobot bayi kami masih 1040gram, posisinya sudah turun ke pinggul, saya diharuskan bedrest, tidak boleh banyak bergerak, khawatir jika lahir prematur bobotnya masih terlalu kecil. Namun, suami saya selalu menyemangati, meyakinkan saya, kalau saya pasti kuat, saya pasti bisa melalui masa-masa kehamilan ini. Dan ia benar, setiap kali merasakan gerakan calon bayi kami, semakin aktif, membuat saya semakin kuat karena perasaan bahagia. Fabiayyi alaa irabbikuma tukadziban .... :')

Insya Allah, satu atau dua minggu lagi buah hati kami dijadwalkan lahir, semakin hari ada rasa semakin khawatir, apakah saya mampu melahirkan normal? Suami saya kembali tak pernah bosan dan lelah meyakinkan kalau saya pasti bisa, senantiasa memberikan afirmasi positif, berbicara pada calon bayi kami, meng-sugesti saya bahwa melahirkan adalah proses alami, saya pasti bisa melahirkan dengan nyaman, sehat. Insya Allah, Allahumma Aamiin .... :-)

Fabiayyi alaa irabbikuma tukadziban ... Sujud syukur saya telah Allah anugerahkan seorang suami yang luar biasa kesabaran dan lembut hatinya, memberi saya kesempatan untuk merasakan menjadi calon dan seorang ibu, Insya Allah ... semoga saya dapat menjaga amanah dan anugerah indah ini dalam koridor keridhaan-Nya, Allahumma Aamiin.



Kamis, 09 Mei 2013

Catatan Pernikahan II : Kumis Sepotong

Alkisah, kami- saya dan suami (cie) belum memiliki cermin meski sepotong kecil. Bagi saya, tiada masalah, toh sejak sebelum nikah saya memang jarang bercermin. Namun, hal itu ternyata menjadi masalah serius bagi suami saya yang hobi bercermin :D
Pasalnya, untuk mencabut kumisnya, cermin adalah salah satu benda yang sangat dibutuhkan.

Singkat cerita, di suatu sore, suami saya sudah sangat tidak nyaman dengan keadaan kumisnya yang semakin subur dan lebat, mungkin khawatir berubah menjadi hutan rimba hingga dapat mengurangi kecakapan dalam berkomunikasi jika kumis tumbuh sampai menutupi bibir seperti tirai (:D *sang istri ngebayangi jika kumis sepanjang tirai jendela) , padahal beliau salah satu frontliner di kantornya.

Akhirnya, beliau pun meminta saya untuk mencabut kumisnya pakai genset eh pingset.
"Hah? Pakai pingset? Kenapa ga dicukur aja?"

"Ga enak, nanti cepat panjang lagi, biasa dicabut"

Setelah negosiasi harga (lho?) Akhirnya saya dengan ikhlas serta berlapang dada mencabutkan timbunan kumis suami saya.

....
1
5
10
... dst
Selesai sudah sebelah bagian kumisnya saya cabut.
Ketika akan mulai mencabuti bagian yang sebelah lagi, tiba-tiba saya merasa sangat mual, lemas, pandangan berkunang-kunang, dan menghentikan pekerjaan mulia tersebut dengan terpaksa. Buru-buru baringan sebelum pingsan lagi.

Sampai keesokan pagi saya masih kurang sehat hingga belum dapat melanjutkan penyelesaian tugas mulia tersebut. Kebetulan itu hari sabtu, Suami tak kerja jadi masalah sepotong kumis yang belum dicabut itu bukan menjadi masalah serius. Namun, ternyata kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Menjelang siang, ibu mertua saya, meminta suami saya untuk pergi ke beberapa tempat. Suami pun segera pergi dengan motor. Point nya, beliau lupa dengan sepotong kumisnya yang masih utuh belum dicabut. Saya pun tak teringat dengan nasib kumisnya tersebut. Tidur.

Kira-kira setengah jam kemudian suami saya pulang, masuk kamar, membangunkan saya sambil memegang pingset. Dengan wajah penuh pengharapan, suami saya meminta saya menyelesaikan kumis yang sisa sepotong lagi itu. Saya belum sadar penuh, hingga saat saya benar-benar membuka mata dengan jelas, saya baru menyadari innocent sekali wajah suami saya dengan sepotong kumisnya, sebelah lebat sebelah bersih. Ternyata, orang-orang pada senyum-senyum melihatnya. Suamiku, maafkanlah .... *sungkem



Tulisan ini sudah atas persetujuan suami *istri baik :P

Catatan Pernikahan I : Menikah dengan orang yang dicintai atau mencintai orang yang menikahi?

"Kamu bahagia, Sa?" Tanya seorang sahabat pada obrolan santai kami saat sebulan usia pernikahan saya.

Saat itu, saya menjawab "Ya" dengan keyakinan ... jujur, belum 100%

"Apakah saya bahagia?" Hati kecil saya mengulang pertanyaan teman saya.

Sahabat saya tersebut, mungkin bukan tanpa alasan menanyakan hal tersebut, beliau tahu ... pernah ada kisah sendu, rindu, pilu, ragu beberapa waktu sebelum saya memutuskan untuk menikah. Sebuah langkah besar, kilat, dan tak terduga. Bahkan, bagi saya pribadi.

Hati kecil saya tak hanya sekali mengulang pertanyaan tentang kebahagiaan tersebut. Hingga hari ini, siang ini, jam dan menit serta detik ini, saya semakin mantap dengan jawaban betapa bahagianya saya. Bahagia menjadi seorang istri, menantu,ipar, dan bahaia sebagai calon ibu, insya Allah ....

Bagaimana bisa saya tidak bahagia memiliki seorang suami yang begitu sabar, menyayangi saya, dan menerima saya apa adanya. Begitu banyak kekurangan saya, keburukan, masa lalu yang ternyata tak seindah surga. Meyakinkan saya, bahwa hari ini dan selanjutnya adalah melangkah ke depan, bukan ke belakang. Menjadi lebih baik, lebih baik, lebih baik lagi, insya Allah .... tak menuntut saya untuk bisa melakukan ini-itu, menjadi seperti yang diinginkannya, menjadi sempurna. Meyakinkan saya,meski saya tak sempurna, saya tetap bidadarinya .... fabiayyi alaa irrabbikuma tukadzdziban .... lantas, adakah lagi alasan bagi saya untuk tak bahagia hidup bersamanya?