"Kamu bahagia, Sa?" Tanya seorang sahabat pada obrolan santai kami saat sebulan usia pernikahan saya.
Saat itu, saya menjawab "Ya" dengan keyakinan ... jujur, belum 100%
"Apakah saya bahagia?" Hati kecil saya mengulang pertanyaan teman saya.
Sahabat saya tersebut, mungkin bukan tanpa alasan menanyakan hal tersebut, beliau tahu ... pernah ada kisah sendu, rindu, pilu, ragu beberapa waktu sebelum saya memutuskan untuk menikah. Sebuah langkah besar, kilat, dan tak terduga. Bahkan, bagi saya pribadi.
Hati kecil saya tak hanya sekali mengulang pertanyaan tentang kebahagiaan tersebut. Hingga hari ini, siang ini, jam dan menit serta detik ini, saya semakin mantap dengan jawaban betapa bahagianya saya. Bahagia menjadi seorang istri, menantu,ipar, dan bahaia sebagai calon ibu, insya Allah ....
Bagaimana bisa saya tidak bahagia memiliki seorang suami yang begitu sabar, menyayangi saya, dan menerima saya apa adanya. Begitu banyak kekurangan saya, keburukan, masa lalu yang ternyata tak seindah surga. Meyakinkan saya, bahwa hari ini dan selanjutnya adalah melangkah ke depan, bukan ke belakang. Menjadi lebih baik, lebih baik, lebih baik lagi, insya Allah .... tak menuntut saya untuk bisa melakukan ini-itu, menjadi seperti yang diinginkannya, menjadi sempurna. Meyakinkan saya,meski saya tak sempurna, saya tetap bidadarinya .... fabiayyi alaa irrabbikuma tukadzdziban .... lantas, adakah lagi alasan bagi saya untuk tak bahagia hidup bersamanya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar