Dalam sebuah pertemuan halaqah, seorang guru berkata kepada mad’unya.
“Ikhwah sekalian, dalam hidup berjamaah, jadilah antum sebagai seorang
pemain bola,jangan menjadi penonton. Seorang pemain, selalu berusaha
menjaga dirinya agar selalu dalam kondisi fit, dia selalu berlatih
untuk mengasah kemampuannya dan menjaga staminanya. Hal itu tidak
pernah dilakukan oleh penonton, mereka hanya duduk lama sembari
mengumpat sesekali. Seorang pemain, adalah orang yang setiap harinya
disibukkan bagaimana agar bisa menang disetiap pertandingan. Seorang
penonton berusaha bagaimana agar bisa memuaskan dirinya dengan bisa
menonton orang yang bermain bola dan mengomentarinya seakan-akan
mereka lebih jago dari pada para pemain. Mereka terpuaskan apabila
membahas kebodohan yang dilakukan para pemain sehingga tidak bisa
mendapatkan hasil yang mereka harapkan. Dan yang paling penting adalah
seorang pemain, seburuk apapun permainannya, tetap saja dia
mendapatkan gaji. Sedangkan penonton, semakin sering dia menonton,
semakin sering dia mengeluarkan uang untuk membeli tiket. Jika seorang
pemain mendapatkan uang, maka penonton membuang uang mereka.” Lalu
seorang muridnya bertanya,” ustadz, bukankah ada yang mengatakan bahwa
penonton adalah pemain ke-13 dalam permainan sepakbola dan ikut
menentukan jalannya pertandingan secara tidak langsung?”. Sang guru
terdiam sejenak sambil tersenyum, lalu menjawab,” hal itu tidaklah
mutlak, Lihatlah kenyataan dilapangan, berapa banyak pertandingan yang
dimenangkan oleh sebuah tim sepak bola dikandang lawan. Dan berapa
banyak pula pertandingan yang menunjukkan bahwa tim tuan rumah juga
bisa kalah dikandang sendiri. Semuanya berpulang pada mental sang
pemain. Mental sang juara tidak akan tergoyah oleh cemoohan, hujatan
dan kritikan para penonton. Karena sang juara yakin bahwa sekeras
apapun hujatan sang penonton, belum tentu sang penonton bisa melakukan
hal yang sama_apalagi melebihi_yang dia lakukan dilapangan. Hal itu
lah yang membuat dia tak terpengaruh walau hujatan datang
bertubi-tubi. Mungkin permainannya memang buruk, namun seburuk-buruk
permainan, setidaknya dia berhasil menahan tim lawan beberapa menit
untuk tidak mencetak gol. Mungkin perbedaan skornya sangat jauh
tertinggal, namun itu lebih baik daripada menjadi seorang penonton,
sebab, sekeras apapun sang penonton berteriak, tetap saja tidak akan
menggeser bola yang ada dilapangan satu milimeter pun, apalagi membuat
gol. Seorang pemain yang buruk memiliki kesempatan lagi untuk bermain
lebih baik dilain kesempatan untuk mempelajari kesalahannya.”. Sang
guru terdiam sejenak lalu melanjutkan, “ikhwah sekalian, budaya
menonton ini juga terjadi di zaman rasulullah, yakni disaat perang
uhud, kaum munafiqun yang mengusulkan agar perang dilakukan dikota
madinah menarik diri saat peperangan terjadi, mereka hanya menonton
saat pasukan islam kalah, lalu setelah itu mereka berkomentar,
bukankah sudah kami katakan, jika kita berperang didalam kota tentu
kita tidak akan mengalami hal yang seperti ini. Dan Allah melaknat
mereka dalam alquran karena perbuatan mereka. semoga kita semua
dijauhkan dari sifat ini. Ingatlah ikhwah sekalian, janganlah kamu
menjadi seorang penonton, tapi jadilah seorang pemain. Pertandingan
akan tetap berjalan walaupun tidak ada penonton, namun pertandingan
tidak akan berjalan jika tidak ada pemain.” Dan sang murabbi menutup
tausyiahnya dengan membacakan ayat yang diturunkan untuk kaum munafik
saat perang uhud, “(mereka itu adalah ) orang-orang yang mengatakan
kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang,
sekiranya mereka mengikuti kita tentu mereka tidak akan
terbunuh.”katakanlah, cegahlah kematian itu darimu jika kamu orang
yang benar.”(Ali imran :168). Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar