Rabu, 16 Maret 2011

Kewajiban Lebih Banyak dari Waktu yang Dimiliki

Ikhwah wa akhwat rahimakumullah…
Kebanyakan orang memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus
dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu.
sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak.
Dan semakin banyak kewajiban-kewajiban yang ada maka semakin terasa
berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban,
selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan.

Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah
tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami
kewajiban itu sebagai:
Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya
Peluang untuk meningkatkan kualitas diri
Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia
akan tetap terjaga dirinya, dan
Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan memfokuskan diri pada sikap rabbani.

Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
- « إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ
إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ
سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ،
وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ،
وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Dari Abu Hurairah RA ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, Siapa yang memusuhi wali-Ku,
maka aku telah menyatakan perang dengannya. Tidak ada taqarrub hamba
kepada-Ku yang lebih Aku cintai dari pada taqarrub yang telah aku
wajibkan kepadanya. Tidak putus-putusnya seorang hamba bertaqarrub
kepada-Ku dengan nawafil (ibadah sunnah) hingga Aku mencintainya.
Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang
dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk
melihat, tangannya yang dia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang
dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan
Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku, niscaya akan Aku
lindungi.” (HR. Bukhari)

Ikhwani wa akhwati hafizhakumullah…
Allah SWT telah mendistribusikan kewajiban bagi manusia ini sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan setiap orang. Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa
yang dimampui. (QS. Al-Baqarah : 286)

Kewajiban guru berbeda dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeda
dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeda kewajiban
orang kaya, dan seterusnya, masing-masing telah mendapatkan porsi
kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan kebaikan yang hendak
dicapai. Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi kebutuhan
orang untuk mendapatkan kualitas pribadi yang unggul, sehingga ia
menjadi saleh bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan spiritual.
Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqush-shilah (menguatkan
hubungan) dengan Allah, sehingga setiap saat pertolongan Allah dapat
diraih untuk mendapatkan sukses hidup dunia dan akhirat. Kewajiban
kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam
ikatan nilai dan kebaikan.

Di mana posisi kita dari semua kewajiban di atas?
Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah, maka kita baru
dapat menyalehkan diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan
spiritual. Dan jika kita tidak mampu menyalehkan diri dalam
aspek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu menyalehkan
orang lain.
Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah
ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah,
akankah pertolongan Allah turun kepada kita?
Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak
dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik
sikap kepada kita? Rasulullah SAW yang senantiasa bersikap baik dan
menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapa pun masih saja
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Ikhwah wal akhawat yar’akumullah…
Dari ketiga model kewajiban di atas, sebagai kader dakwah yang
memiliki komitmen melakukan perbaikan internal dan eksternal, kita
sadar bahwa di hadapan kita terdapat segudang kewajiban yang harus
kita tunaikan, baik kewajiban kepada kedua orang tua, kewajiban suami
istri, kewajiban kepada anak, kewajiban kepada kerabat, kewajiban
kepada saudara, dan kewajiban kepada manusia pada umumnya, serta
kewajiban kepada jamaah dan dakwah.

Semakin besar pemahaman kita terhadap kewajiban yang kita emban maka
semakin besar pula kesadaran akan kurangnya waktu yang disediakan,
sehingga memacu kita untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar
tidak terlewatkan begitu saja.

Rasulullah SAW bersabda:
اغتنم خمسا قبل خمس : شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و
فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك
Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya; masa mudamu
sebelum datang masa tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu
kayamu sebelum waktu miskinmu, waktu senggangmu sebelum datang waktu
sibukku, dan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu. (HR. Baihaqi dan
Hakim)

Manusia banyak terlena dengan kesempatan yang dimiliki dan tidak mampu
menjadikannya sebagai peluang untuk berbuat baik dan melaksanakan
kewajiban secara maksimal. Padahal di hadapannya begitu banyak
kewajiban yang sudah menunggu. Hal itu tidak boleh terjadi pada
seorang kader. Karena tidak ada waktu istirahat baginya kecuali
kematian. Itu pun pada –la samahallah- kemaksiatan dan keburukan.
Sedangkan terhadap kebaikan, hidupnya didedikasikan untuk mencarinya
dan menggapainya sebanyak-banyaknya. Sebagaimana dalam doa yang
diajarkan Nabi SAW kepada kita:
وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Dan jadikanlah kematian sebagai istirahat (penghenti) bagi saya dari
segala kejahatan (HR. Muslim)

Ikhwah wal akhawat as’adakumullah hayatakum…
Prinsip seorang kader adalah sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ [الشرح/7]
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (QS. Al-Insyirah : 7)

Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai
berdakwah, maka beribadahlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai
mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat. Dan ada
lagi yang mengatakan, pabila telah selesai mengerjakan shalat,
berdoalah.

Dan keberuntungan seseorang dalam hidupnya setelah keimanan adalah
kemampuan memanfaatkan masa hidupnya untuk beramal saleh dan berdakwah
(saling berwasiat pada kesabaran dan kebaikan). Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (3)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat
menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya
menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr : 2-3)

Karena itulah, waktu harus digunakan seoptimal mungkin untuk
kepentingan dakwah dan penataan kehidupan yang lebih baik dan lebih
mulia. Tidak akan berarti apa-apa kesalehan pribadi yang kita bangun
tinggi jika tidak memberi dampak bagi kesalehan lingkungan.

Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula
kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit
kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa
peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang
berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban
di semua tingkatan harus terpenuhi. Wallaahu a’lam.


[sumber: Buku Seri Taujih Pekanan jilid II]

Tidak ada komentar: