Sabtu, 21 Januari 2012

Faktanya, Soekarno-Hatta Sangat Jarang ke Masjid!

Berawal dari celotehan ponakan seorang kawan, “Om, tahu gak, siapa pahlawan masjid?” Si om sempat dibuat bingung dengan pertanyaan ponakan yang masih bocah itu. Saat kawan saya melontarkan pertanyaan yang sama pun, saya sempat bingung. Siapa, ya, pahlawan masjid? Mungkinkah itu ketua DKM, pengurus DKM, imam besar, ustad yang sering kasih pengajian, atau para jamaahnya. Setelah menyerah, si bocah menjawab innocent, “Ya, Pattimura, dong!” Haaa, saya langsung melongo (dengan ekspresi datar selama 10 detik). Hmmm, betul juga itu bocah, memang pahlawan yang sering “nongkrong” di masjid paling banyak biasanya Kapitan Pattimura yang berpose gagah dan berwibawa (meski lebih mendekati garang) dalam duit Rp1.000,- yang mendekam dalam kotak amal jariyah.



Kotak amal jariyah (dalam bahasa Sunda, disebut koropak) adalah salah satu “aksesori” wajib yang biasanya ditemukan di masjid-masjid, baik masjid kecil (langgar, mushala) hingga masjid raya sekalipun. Yaitu, tempat yang digunakan untuk “menampung” uang dari para jamaah masjid yang dermawan. Bentuk kotak amal jariyah, ya sesuai namanya–kotak–biasanya juga berupa kotak, meski ada juga yang dimodifikasi jadi berbagai bentuk, seperti bentuk kubah masjid, mobil-mobilan (dikira penitipan anak, kali, ya?), kotak beroda, bahkan ada juga yang bentuknya keranda jenazah. Mungkin, dengan demikian, orang akan lebih termotivasi untuk bersedekah mengingat dihadapkan pada keranda jenazah mini. Dan, yang paling penting, kotak amal jariyah harus memiliki lubang yang panjangnya sekitar 5 cm dan lebar yang hanya beberapa mili. Yang penting, uang koin dan kertas yang dilipat bisa masuk. Jangan terlalu lebar, apalagi sampai bisa dimasuki tangan. Bahaya!



Kotak amal jariyah selalu tersimpan dalam keadaan terkunci. Jika tidak dikunci, dikhawatirkan memancing tangan-tangan jahil untuk mencicipi kriminal. Kotak amal jariyah, ada yang disimpan secara permanen di satu posisi, misalnya di bagian depan pas pintu masuk atau di beberapa penjuru masjid. Ada pula kotak amal jariyah yang kemunculannya bersifat insidental, misalnya kotak amal jariyah yang biasa “keliling” saat shalat Jumat, saat pengajian, saat acara-acara PHBI, dan beberapa acara yang biasa diadakan masjid. Isinya? Tentu isinya adalah uang. Saya belum pernah menemukan kotak amal jariyah di masjid yang isinya selain dari uang, semisal permen, rokok, surat pengaduan, atau apapun yang bisa masuk lewat lubang keci. Uangnya pun beragam nominal, terdiri dari uang logam dan kertas.



Kebetulan, bapak saya adalah ketua DKM di salah satu masjid jami (tingkat dusun). Biasanya, selepas ibadah shalat Jumat setiap minggunya, beliau dan para pengurus suka “membongkar” kotak amal jariyah yang sudah keliling mulai shaf depan hingga shaf belakang. Biasanya, saat kotak amal jariyah melintasi shaf awal, akan berjalan lambat. Namun lama-lama, saat melintasi shaf ujung, kotak amal jariyah berjalan semakin cepat. Apalagi jika satu shaf diisi bocah SD, kotak bakal berjalan ngebut ekspress, sama sekali gak berhenti. Setelah dibongkar, maka akan keluarlah banyak “pahlawan” dari si Kotak Amal Jariyah itu. Meski perwajahan para pahlawan itu dalam kondisi yang berbeda-beda, ada yang masih mulus, ada sudah lusuh, kusut, kucek, bau mesin ATM atau bau tomat.



Jumat pekan lalu, iseng-iseng saya ikut nimbrung bapak “membelah” duren, ups, kotak amal jariyah. Ingin membuktikan, celotehan ponakan kawan saya di atas, benarkan Pattimura adalah pahlawan yang “rajin” ke masjid. Setelah dibuka, kotak terdiri dari uang kertas dan logam. Saya cuma memerhatikan para pengurus DKM menghitung. Alhasil, yang pertama tentu masih didominasi oleh Kapitan Pattimura, kedua Pangeran Antasari, ketiga Pangeran Diponegoro, keempat Sultan Mahmud Badarudin II, kelima Oto Iskandar Di Nata, dan … di posisi keenam, hanya ada seorang I Gusti Ngurah Rai. Hmmm, nampaknya masih ada yang kurang. Saya coba berpikir keras–seperti mengingat-ingat sesuatu–dan yaaa, saya sadar bahwa para punggawa negeri, sang Proklamator Soekarno-Hatta nampaknya tidak hadir pada Jumat kali itu.



Isi kotak amal sudah selesai dihitung. Meski hasilnya cukup besar dari segi angkanya, saya yang baru sekali itu ikut nimbrung “membongkar” kotak amal jariyah, kecewa karena founding father negeri ini ternyata tidak ikut shalat Jumat waktu itu. Ternyata, tidak ada yang jamaah yang berkenan memasukkan “Soekarno-Hatta” ke dalam kotak amal jariyah. Tapi, saya yakin itu bukan karena keengganan, melainkan “para pahlawan tersebut” sudah jarang dimiliki para tetangga saya, dan termasuk saya dan keluarga. Meskipun ada, tentu jadi barang langka. Saya saja melihat mereka nyelip di dompet saya sangat jarang. Dalam sebulan, paling ketemu beberapa kali dalam dompet dan dalam hitungan menit sudah bertukar pahlawan-pahlawan lainnya. Berbahagialah Anda yang sudah terbiasa “tinggal” bersama kedua pahlawan tersebut. Semoga jadi refleksi bagi semua.



P.S. Pesan khatib yang saya ingat dari shalat Jumat tadi siang.

Q.S. Al-Baqarah [2]: 254 “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim.”

Ayo, silakan pilih. Siapa pahlawan yang mau Anda masukan kotak amal jariyah! :)



"Pahlawan" manakah yang paling sering kita bawa ke mesjid? :)



sumber tulisan di atas : http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/20/faktanya-soekarno-hatta-sangat-jarang-ke-masjid/

Bacalah hingga selesai..

Bismillahirrahmaanirrahiim

Ba'da tahmid wa shalawat



Bacalah hingga selesai. Dan hanya orang-orang yang Allah lembutkan hatinya dapat membaca hikmah dan pelajaran, semoga kita tak termasuk orang yang Allah keraskan, hitamkan, dan dijadikan hatinya berkarat, hingga ketika sudah tenggelam dalam dosa dan maksiat pun kita sedikitpun tidak menyadarinya. Tidak Allah tegur, karena mungkin karena Allah sudah "muak" dengan semua yang kita lakukan, dan Allah membiarkan kita terus terlena dengan dosa yang kita anggap "biasa". Naudzubillahi min dzalik.



Ini cerita tentang seorang anak remaja di zaman teknologi modern, sarat pergaulan masa kini.



Di sekolahnya, ia sangat dikenal dan terkenal sebagai seorang yang cerdas, sholihah, pintar bergaul, santun, dan segudang kelebihan lain. Perfect-lah.



Namun tak selalu demikian yang "tertunjuk" di rumahnya. Ibunya sangat sayang padanya. Nyaris seluruh kebutuhan dan keperluannya dipenuhi sang Ibunda. Seluruh pakaiannya sang ibundalah yang mencuci dan menyetrika bahkan hingga menyusun pakaian-pakaiannya ke dalam lemari sang Ibundalah yang mengerjakan. Ibunya yang memasak, mencuci piring bekas makan-minumnya. Bahkan bangun pagi-pagi meski kaki sakit karena Asam Urat dan Kolesterol ditambah gula darah yang kerapkali tinggi karena banyak pikiran atau terlalu lelah, HANYA untuk menyiapkan bekal sekolahnya di hari-hari ia pulang sore karena les untuk persiapan kelulusan sekolahnya. Di rumah, seluruhnya dikerjakan Ibunya. Si anak remaja ini tinggal terima beres saja.



Dengan semua "kenikmatan" yang dipersembahkan ibunya kepadanya, apa yang seharusnya ia lakukan pada ibunya?



Yang si anak remaja ini lakukan adalah..



- Ketika sang ibu makan di kamar, si anak remaja akan langsung BERANG dan MARAH MEMBENTAK-BENTAK IBUNYA.

"Mamak ni kalau makan jangan dikamar, keluar sana. Bikin bau saja. Ga tahan Adek"

atau di lain kesempatan ia mengatakan "BIKIN SUSAH SAJA" pada ibunya.



Dan sang Ibundapun harus mengikhlaskan seleranya dengan meminta tolong anaknya mengeluarkan piring makanannya dengan alasan masih panas, nanti saja makannya.



si kakak yang melihat ibunya makan sendirian di dapur, menangis.



Mungkin Allah lupakan ingatannya,hingga sedikitpun ia tidak ingat (atau TIDAK MAU mengingat).

Bagaimana susahnya ibunya MENGANDUNGNYA 9 bulan di saat usia sang ibu sudah TIDAK MUDA LAGI.

Bagaimana susah ibunya MELAHIRKANNYA, bersakit-sakit. di saat usia sang ibu sudah TIDAK MUDA LAGI.

Bagaimana susah ibunya harus BANGUN TENGAH MALAM karena tangisannya, disaat ibunya sudah TIDAK MUDA LAGI.

Bagaimana ibunya harus MENCIUM TINJANYA DAN MEMBERSIHKANnya.

Dan SEKALIPUN ibunya TIDAK PERNAH mengeluh atau memarahinya, membentaknya "BAU KALI, BIKIN SUSAH SAJA."

TIDAK PERNAH.



Atau saat jilbabnya ada lipatan bekas gosokan,

"Mamak ni, adek ga suka jilbabnya ada lipatan gini, susah pakainya, dll"



Atau saat ibunya meminjam uang padanya, akan benar-benar diingat sebagai UTANG.

SANGAT PERHITUNGAN. Setiap rupiah uang miliknya yang dipakai ibunya akan BENAR-BENAR DIINGATNYA.

Bahkan hanya karena uang seratus atau dua ratus ribu, ia RINGAN BERSUARA KERAS dengan ibunya sambil menangis kesal, marah.



Mungkin telah Allah hitamkan hatinya, hingga tak tembus sedikitpun cahaya pengorbanan ibunya, berusaha berbagai upaya memenuhi kebutuhannya. Tak perlu jauh "mengungkit" saat masa-masa kecilnya si remaja,berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan ibunya TANPA DIHITUNG SEBAGAI UTANG. Kini, hanya untuk mendapatkan ONGKOS SEKOLAH si remaja, ibunya sampai rela menjahit baju orang, membantu di rumah orang, pekerjaan-pekerjaan yang mungkin tidak diketahui si remaja (atau tidak mau tahu?).



Namun semua itu akan berubah 180 derajat saat di hadapan teman-temannya yang datang ke rumah. Suaranya akan menjadi sangat lembut.



Kakak si remaja ini, hatinya sudah benar-benar sangat sakit dan terluka. Terutama saat menghadapi kondisi si remaja memperlakukan ibunya. Namun, saat si kakak membela ibunya, yang terjadilah adalah si kakak yang dimarahi ibunya. Selalu ibunya membela si remaja ini.



Kerapkali, mendidih rasanya darah si kakak melihat perlakuan adiknya, namun selalu ditahan-tahannya. Karena sekali ia bersuara memuntahkan ke-eneg-kannya pada sikap si remaja, yang terjadi hanyalah pertengkaran. Begitupula dengan ibunya. Diam adalah jalan terbaik.



Lagipula, si remaja dengan si kakak juga demikian,bersuara keras. sedikitpun tidak ada menghargai. Dengan ibunya saja demikian kasarnya, apalagi dengan kakaknya. Namun, jika si kakak ada uang, atau si remaja ada keperluan dengan kakaknya, baru si remaja berbaik-baik.



Pernah satu waktu, kakaknya pulang sebentar untuk makan siang, kemudian duduk di depan televisi tempat si remaja sedang menonton film korea. Saat itu juga, si remaja yang hendak ke kamar mandi me-matikan tayangan film korea yang ditontonnya. Di lain waktu, film nya di pause dan remote nya di bawa. padahal si kakak HANYA UNTUK SEBENTAR untuk makan kemudian kembali pergi kerja.



Dia tidak pernah merasakan, bagaimana jika orang lain memperlakukan dia seperti itu. Bagaimana rasanya?



Pernah juga saat di kamar, HP si remaja diletakkan di bawah bantal, si kakak sungguh-sungguh tidak mengetahui HPnya berada di bawah bantal dan tak sengaja tertekan kaki si kakak, hingga mungkin MP3 yang sedang didengarnya dari HPnya berhenti. si remaja langsung memukul dan membentak-bentak kakaknya. "COBA KALAU HP DIA YANG DIGITUIN, PASTI DIA MARAH JUGA."



Mungkin si remaja sedikitpun tidak ingat, SAAT HP KAKAKnya ENTAH BERAPA KALI TERJATUH dan TERCAMPAK DARI TANGANNYA hingga beberapa tuts HPnya kadang tidak berfungsi. Dan si kakak hanya marah bercanda sesaat, tidak memaki-makinya seperti yang ia lakukan.



Satu hari, saat si kakak lapar sekali dan HANYA SATU KALI si kakak memasak mie kemasan miliknya,itupun hanya sedikit saja yang diambil, hanya untuk pengganjal perut setelah seharian dari pagi hingga malam beraktivitas di luar,namun si remaja sangat marah sekali, ia memarah-marahi ibunya yang membiarkan kakaknya memasak mie miliknya. Hingga di kesempatan selanjutnya, setiap kali si kakak akan makan atau memasak mie, ibunya melarang si kakak.



Andai saja si kakak ga ingat ibunya, berkali-kali ingin sekali si kakak meninggalkan rumah, tinggal terpisah daripada harus menekan sedalam-dalamnya emosi menghadapi setiap perlakuan si remaja yang masih sangat banyak dan tidak mungkin disebutkan satu per satu.



Andaikata si kakak punya banyak uang, ingin sekali ia beri semuanya pada ibunya, agar ibunya bisa memenuhi semua kebutuhan termasuk kebutuhan si remaja.



Kerapkali saat si kakak ke toko buku, melihat ada buku kumpulan soal UAN atau SNMPTN ingin sekali rasanya ia membeli untuk si remaja, namun perlakuan si remaja yang sudah berkali-kali begitu menyakitkan, membuatnya urung.

Berkali-kali pula si kakak ingin mendaftarkan try out atau berbagai event yang juga diminati si remaja, namun setiap kali pulang ke rumah yang dihadapi adalah keketusan dan kekasaran si remaja pada dirinya, seolah-olah si kakak adalah ORANG YANG MENUMPANG HIDUP pada si remaja, hingga membuatnya urung.



si kakak mungkin memang bukan orang sukses yang membanggakan, pun bagi orang tuanya. Tidak kaya raya meski meski harus pulang kerja hingga Pkl.22.00wib hanya untuk beberapa ratus ribu yang diharapkan dapat sedikit membantu kebutuhan rumah, meski tak pernah dianggap dan nyaris selalu mendapat caci. Seolah-olah, selama ini si kakaklah yang SELALU MENGHABISKAN UANG.



Jika saja si remaja tahu, bahkan untuk sekedar ingin makan bakso saja, si kakak harus menahan-nahan selera, berbulan-bulan. Hingga selalu tak kesampaian untuk membeli karena uangnya tak cukup untuk membeli bakso buat si remaja dan ibunya. Kalau saja si remaja tahu, bagaimana perasaan si kakak dan ibunya saat si remaja dan teman-teman makan ayam penyet atau ayam bakar, sedangkan kakak dan ibunya di dalam kamar. Meski kemudian si remaja menyisakan ayamnya yang tinggal setengah untuk ibunya. Ingin rasanya si kakak menangis, andai saja ia dapat membelikan makanan yang enak-enak untuk ibunya, bukan makanan sisa punya si remaja yang akhirnya dihabiskan juga karena lapar.



Kerapkali, saat bekerja atau di penghujung malam, si kakak menangis mengingat perlakuan yang sudah sangat sering diperoleh dari si remaja padanya dan pada ibunya.



Mungkin kakaknya memang bukan orang kaya dengan harta berlimpah dan tabungan yang gendut, tapi sedikitpun kakaknya tak sudi menjadi benalu, dan tak ridha rasanya diperlakukan demikian oleh si remaja saban hari, saban waktu.



Mungkin si remaja ada alasan mengapa ia berperilaku demikian. Kemiskinankah?Tidak ada uang seperti teman-teman sekolahnya yang bisa ini itu? atau Stres? Apapun alasannya, dapatkah dibenarkan sikap dan perilakunya?



Mungkin si remaja merasa ia lah yang memiliki masalah yang paling berat di dunia ini, memuntahkannya di rumah. Dengan orang-orang rumah. Kalau bersikap demikian di luar kan bisa ngerusak image si remaja. Namun, apapun alasannya tersebut, dapatkah semua yang dilakukannya dapat dibenarkan?



Kerap kali kita merasa kitalah yang paling menderita, kitalah yang paling banyak berkorban, kitalah yang punya masalah paling berat, kitalah yang selalu menjadi korban. Tanpa peduli, orang-orang di sekitar kita mungkin justru yang menjadi korban dari sikap-sikap kita. Orang-orang di sekitar kita yang juga mengalami tekanan perasaan dan pikiran karena kita.



Demikianlah cerita tentang si remaja, semoga ada pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil.



Saya pribadi, menyimak ceritanya saja sudah sangat..sangat..mendidih darah saya. Marah, luka, sakit hati, memenuhi ruang dalam hati saya. Selalu saya berdoa pada Allah di setiap sujud saja, semoga saya terjauh dari orang-orang seperti sosoki si remaja. Semoga saat saya hamil, saya tidak pernah bertemu dengan orang seperti si remaja, dan anak-anak saya terjauh dari sifat dan orang-orang seperti di remaja.



Bagi si remaja, semoga Allah bukakan hati dan pikirannya yang terkenal cerdas dikalangan teman-temannya.



Semoga kita tidak menjadi manusia-manusia pintar namun bodoh.

Jumat, 20 Januari 2012

(Bukan) Peta Buta

Jadi ceritanya,ba'da dzuhur kemarin aka jam satu teng, saya sudah rapi-rapi dan siap menuju tempat janjian dengan seseorang (cie). Matut diri di cermin, uda oke, jilbab rapi, sepatu matching (hayyah). Check ban motor, oke. Lampu kiri kanan, kaca spion, rem tangan plus rem kaki, semua oke. Oke, sekarang saatnya berangkat!



Berbekal bukan sebuah alamat palsu, "Jalan Tuan Dikandang, masuk dari komplek PLTD Apung, nanti tanya saja Keude Kupi Surya, semua orang pasti tahu" yang tertera dalam ponsel saya, pergilah saya menyusuri daerah tempat kami janjian (ehem).

Kebetulan PLTD Apung itu ga terlalu jauh dari rumah saya, sekitar 10 menitanlah ditempuh dengan sepeda motor, 15 menitan dengan sepeda atau 20 menit kalau jalan cepat.



10 menit dari Pkl.13.00 wib saya sudah tiba di komplek PLTD Apung. Di palang jalan tertera "Jalan Harapan". Oo, mungkin masuk sini,pikir saya. Karena pengalaman jaman dahulu kala, di dalam jalan harapan ini tedapat sangat banyak cabang-cabang nama jalan yang berlainan.



Awalnya saya muter-muter keliling PLTD Apung itu, tapi kok ga nemu ya Jalan Tuan Dikandang. Akhirnya, karena mulai ragu saya keluar sampai ke ujung jalan harapan (keluar komplek PLTD Apung), kemudian jalan terus sampai arah tembusan ke simpang lima PU Seutui (eh, ga jalan ding, tapi mengendarai motor).



Berbekal pepatah, "malu bertanya, jalan-jalan" maka bertanyalah saya pada abang-abang yang jualan sayur di pinggir jalan (perawakannya sih kayak penduduk asli)

"Assalamu'alaykum, Bang, maaf numpang tanya, jalan Tuan Dikandang dimana ya?"

"Wa'alaykumussalam..Oo, jalan tuan dikandang masuk komplek PLTD Apung, dik. kalau ini uda Tuan Dipakeh. Nanti tanya saja dengan orang di sana, saya kurang tahu juga."

"Oo, makasih ya,bang."



Sarah come back! (atau Sarah return ya cocoknya? *bletak)



Kembalilah saya ke komplek PLTD Apung. Setiap palang jalan, saya perhatikan satu per satu. Pokoknya jangan sampai ada yang kelewatan deh.Masuk kiri keluar kanan. Masuk kanan keluar kiri. (Kayak pelajaran sekolah aja *lho?). Setelah capek keluar masuk jalan dan ga ketemu-ketemu si Jalan Tuan Dikandang, mampirlah saya di pojokan pangsit depan Kapal PLTD Apung yang konon katanya orang-orang mie pangsitnya enak banget (sekalian bantu promosi :hihi)



"Darimana, Nak?" tanya si Ibu yang jual mie pangsitnya.

"Dari rumah orang tua saya, Bu..mau ke rumah teman (*ga nanya!)" jawab saya

"Oo, dimana rumah temannya?" tanya si Ibu lagi

"Menurut sms-nya jalan Tuan Dikandang,Bu" jawab saya lagi.

"Oo, jalan tuan dikandang..nanti kamu dari belakang Kapal Apung ini, belok kanan aja, itu Jalan Tuan Dikandang"

"Oo, baik,Bu..terima kasih ya, Bu"



Pkl.13.45wib, setelah selesai menikmati pangsit si Ibu depan PLTD Apung, saya bergegas meneruskan perjalanan menunaikan janji suci (hayyah).



Menurut informasi saya harus belok kanan, maka beloklah saya ke kanan. Ada 3 cabang jalan, semua saya susuri. Keluar masuk dan nggak nemu-nemu. Berbekal pepatah yang sama seperti yang telah saya sebutkan diatas, bertanyalah saya lagi sama bapak penjual rujak dan buah segar di pinggir jalan depan mesjid Subussalam belakang Kapal Apung (lengkap amat).



"Assalamu'alaykum..permisi,Pak. Numpang tanya, jalan Tuan Dikandang dimana ya,Pak?"

"Wa'alaykumussalam..Oo jalan Tuan dikandang bukan disini,Nak. tapi yang sebelah kiri sana."

"Oo, makasih ya,Pak"

"Nanti tanya saja dengan orang asli sini, jangan tanya dengan pendatang, ga tau"

"Baik,Pak. Terima Kasih ya,Pak"



Dan sayapun menyusuri jalan yang ditunjuk si Bapak. Belok sebelah kiri, bukan sebelah kanan seperti petunjuk ibu pangsit. Semakin masuk jalannya semakin banyak yang bercabang, saya sampai khawatir nyasar jauh. Masih berbekal pepatah yang sama seperti yang telah saya sebutkan di atas, bertanyalah lagi saya pada seorang ibu pemilik kios yang sedang sibuk BBM-an (Bahan Bakar Minyak aka lagi mindahin bensin dari jeregen ke kaleng besar)



"Assalamu'alaikum..permisi,Bu. Numpang tanya, Jalan Tuan Dikandang dimana ya, Bu?" tanya saya.

"Wa'alaykumussalam..Oo, jalan tuan dikandang itu jalan ke kebun saya" jawab si ibu

"(Gubrak! mana saya tahu kebun ibu dimana) lewat mana ya, Bu?" tanya saya lagi

"Lewat sini saja,Nak. Lurus terus sampai mentok belok kanan" jelas si ibu"Baik, makasih ya,Bu..permisi" kata saya.



Kembali saya menyusuri jalan sesuai petunjuk si Ibu namun sudah jauuuuuuuh kedalam belum mentok-mentok juga jalannya seperti petunjuk si Ibu. Karena belum mentok, nggak bisa lah saya belok kanan meskipun begitu banyak tikungan kanan yang saya lewati.



Karena hati disergap ragu, untuk yang kesekian kalinya, saya menghentikan laju kendaraan saya dan kembali bertanya pada seorang bapak yang sudah tua, sepertinya penduduk asli.

"Assalamu'alaykum..permisi,Pak. Numpang tanya, jalan tuan dikandang dimana,Pak?"

"Wa'alaykumussalam..Oo, jalan tuan dikandang atau dusun tuan dikandang?"

"(toeng!) Jalan tuan dikandang,Pak"

"Oo..sudah lewat,Nak. Nanti kamu belok kiri saja, setelah itu belok kanan. Di sana jalan tuan dikandang, nanti kamu tanya saja dengan orang di sana"

"Oiya, baik,Pak..terima kasih ya,Pak..Assalamu'alaykum"

"Wa'alaykumussalam"



Baliklah saya ke belakang belok kiri kemudian belok kanan, sepeda motor saya terus jalan perlahan hingga bertemulah saya pada seseorang yang membuat harapan saya muncul. Bapak Pangsit!



Bapak pangsit ini bukan suaminya si Ibu penjual pangsit yang mangkal di depan PLTD Apung itu, tapi ini bapak pangsit langganan mba Siti di Lapangan Blang Padang yang jualan tiap hari Minggu pagi. Walaupun saya tidak pernah membeli pangsit si Bapak ini, tapi saya lumayan dikenal oleh beliau karena selalu nitip sepeda disamping gerobak beliau :hihi

Jadi kalau hari minggu pagi melihat ada sepeda Polygon warna biru nangkring si samping gerobak pangsit dimana penjualnya adalah seorang Bapak, maka Insya Allah bisa dipastikan itu sepeda saya (apa sih?)



Kembali ke topik,

Si Bapak pangsit tanya, saya mau kemana? Saya jawab, mau ke rumah teman. Dimana rumahnya? tanya si Bapak pangsit lagi. Di Jalan tuan dikandang, katanya di keude kupi Surya, jawab saya lagi. Oo, saya tahu, mari saya antar, tawar si bapak pangsit. Berbinarlah saya. Alhamdulillah..kembali semangat saya.



Tak lama kemudian sampailah saya diantar si Bapak ke sebuah kios.

"Ini tempatnya bang Surya" kata si Bapak dan segera pamit.

"oiya, baik, Pak..terima kasih ya,Pak. Maaf merepotkan" lanjut saya sembari berjanji dalam hati, insya Allah suatu hari, di hari minggu saya akan membeli pangsit beliau (Semangat!)



"Assalamu'alaykum..permisi.." sapa saya"Wa'alaykumussalam.." jawab sapaan dari dalam diiringi kemunculan sesosok Bapak berbadan besar laksana bodyguard, berkulit coklat dan berkumis tebal.

"(dag dig dug *suara jantung) Maaf,Pak..numpang tanya, apa benar ini jalan Tuan dikandang?" tanya saya (sok) berani (padahal uda berdebar-debar terpana)

"Benar" jawab si Bapak tegas dan garang plus bersuara besar.

"Oiya,maaf, Pak.. Apa benar ini keude kupi Surya?" tanya saya lagi (berharap salah alamat dan buru-buru kabur)

"Ini memang keude milik Bang Surya, tapi ini bukan keude kupi" jawab si Bapak

"iya juga ya, ini kan kios jual rempah-rempah, bukan keude kupi." Kata saya dalam hati

"Mau cari siapa?" tanya si Bapak dengan suara berapa oktaf (berasa menggelegar)

"Mau cari keude kupi Surya jalan Tuan dikandang,Pak" jawab saya

"Hei,ma'e..pat keude kupi Surya?" tanya di Bapak pada tetangganya yang lagi leyeh-leyeh dengan berteriak.

"Oo,di simpang jalan tuan dikandang dekat mesjid, keude kupi yang di ujung jalan" jawab tetangganya.

"uda dengar kan disana, dekat mesjid, balik lagi aja" kata si Bapak

"Baik, Pak. terima kasih,Pak..permisi.." kata saya sambil bergegas "kabur" *lemas



Tahukah saudara-saudara, kalau posisi saya saat itu sudah jauuuuuuuuuuuuuuuuhhh...dari mesjid yang dimaksud. Dan yang lebih dudulnya, saya lupa jalan keluarnya. Begitu berbalik arah keluar, terdapat banyaaaaaaakk sekali tikungan dan cabang-cabang jalan. berputar-putar lumayan lama dari satu cabang jalan ke cabang jalan yang lain, akhirnya tibalah saya ke jalan yang ujungnya terlihat pagar mesjid yang dimaksud. Alhamdulillah *seka keringat.



Sampai di mesjid itu, berbekal pengalaman, saya mengganti pepatah, tak lagi bertanya nanti sesat di jalan. Maka saya menyusuri jalan dengan benar-benar pelan sambil celingak-celinguk kiri kanan dan menatap ke depan juga tentunya biar nggak nabrak tiang listrik atau nyungsep ke selokan seperti hobbi masa lalu (eh). Disaat jalan-jalan inilah saya baru menyadari satu hal. HP!





Hah! Mengapa nggak dari tadi saya ingat kalau saya punya HP. Pffh..tat tit tut.. setelah menelepon seseorang yang sudah berkurang semangat saya untuk bertemu, akhirnya tiba juga saya di keude kupi Surya. Dan ternyata rumah beliau sekitar 10 meter di belakang keude kupi tersebut.



Alhamdullillah.. tepat pkl. 15.45wib aka 14 menit menjelang Ashar. Dari keadaan yang awalnya cantik, manis, rapi, wangi (dilarang muntah) tibalah saya di rumah yang sejak awal perjalanan hendak saya tuju dalam keadaan kucel, kumel laper (lagi?) *hihi. Namun karena disambut senyum manis dari tuan rumah yang ramah dan cantik, apalagi tambah disuguhkan segelas teh dingin dan sepiring kue manis, rasanya kucel dan kumel bukan jadi masalah lagi (lho?)



*Benar-benar payah, sudah "berkerak" di Banda Aceh, masih juga sering nyasar. Wong di daerah rumah sendiri saja masih suka nyasar kalau tiba-tiba PLN atau Telkom gali lubang dan disuruh nyari jalan lain.



Ditulis oleh : Anak rumahan

:hihi

Sempurna..

“Malam Jum’at lalu, aku baru mengajak seorang wanita untuk menikah..”



Hm, sebenarnya bukan suatu pernyataan aneh mengingat yang menyampaikan adalah seorang pria yang matang dan mapan sepertinya. Namun tak urung pernyataannya menghentikan gerak tanganku yang sedang mengetik dan menolehkan pandangan ke arahnya, serius.



Singkat kata, penuturan-penuturannya membuat aku tak hanya terperangah, tak henti hati mengucap tasbih.

Pria ini, benar belum sampai setengah usiaku dihabiskan untuk mengenalnya, namun bisa jadi kupahami bagaimana ia,meski pasti tak seluruhnya.



Seorang yang tegas, hingga tak sekali dua aku merasa ia tak sekedar kaku, seriusan, namun juga terkadang menyebalkan, dan juga galak. Pekerja keras. Dan kupahami dari perjuangannya dan pancaran kebanggaan adik-adiknya, keluarganya, bahwa ia sosok kakak yang luar biasa. Cerdas, berwawasan, mapan, dengan adik-adik yang menyenangkan, dan insya Allah seorang yang shalih. Ada lagi? Ah, akan terlalu berlebihan jika aku terus memaparkan tentangnya :D Walaupun tentunya, diantara kelebihan yang ada terdapat kekurangan yang mengiringi, namun bukankah saat berteman sebaiknya kita seperti memandang rembulan, melihat dari sisi keindahannya, bukan buruk permukaannya.



Dengan “yang melekat” pada dirinya, bisa saja ia memilih perempuan yang “sempurna”. Yang cantik, sholihah, dan seabrek kelebihan lainnya. Seperti yang dilakukan kebanyakan ikhwan, mencari yang “sesempurna” mungkin dengan berbagai kriteria plus. Padahal kalau mau jujur blak-blakan, ikhwannya ga ada apa-apanya.



Wanita pilihannya, adalah sosok yang sangat unik. Sosok yang sangat manja, agak “pembangkang”, yang selalu dituruti semua keinginannya, sedang menapak tahap-tahap belajar dalam menabung amalan-amalan diri untuk menjadi semakin indah, semakin bercahaya. Pilihannya bukan akhwat yang sempurna. Ia yakin, wanita pilihannya, seorang yang memiliki kepribadian yang positif. Sangat disayangkan jika dibiarkan dalam “kekurangannya”.



Menurut saya, ini luar biasa. Mengapa?



Cobalah melihat diri-diri yang merasa “baik” dan menginginkan seorang yang baik atau lebih baik. Jika Akhwat, kebanyakan mendambakan ikhwan yang shalih, yang tarbiyah, yang menghafal Al-Quran, yang mapan, dan yang..yang..lebih lainnya. Dan ikhwan? Sama persis mesti tak sama. Mendambakan akhwat yang sholihah, cantik, hafal Al-Quran, kalem, lembut, keibuan, bahkan ada yang mencantumkan “bekerja/PNS/dokter” sebagai criteria istri pilihan. Kebanyakan mendambakan pendamping yang “sudah terbentuk”. Sudah baik, dan berharap semakin baik. “Kalau ga tarbiyah, ga mau” atau “yang penting si dia ada ikut tarbiyah”. Sepertinya terdapat pula “kebanggaan” dari nada-nada yang ada, jika yang menikah, ntah ikhwan atau akhwatnya adalah “bintang” aktivis dakwah. Keren..



Dan (maaf) beberapa kakak pengajianpun juga ada yang “keberatan” jika si calon bukan dari kalangan tarbiyah. Tak ada yang salah memang dengan kriteria-kriteria idaman kita. Wajar sangat, jika kita dan kakak-kakak kita menginginkan seorang yang baik atau yang kita nilai lebih baik untuk menjadi pendamping hidup kita, dunia akhirat. Tak salah. Dan tak salah juga, jika yang menikah kemudian hanya diantara “kita..kita’’ saja. Para kader tarbiyah.



Ah, saya bukan seorang yang cerdas memakai kata dalam bahasa. Namun, pernahkah kita sekedar berpikir mungkin, “bagaimana jika aku menikah dengan seorang ‘biasa’?” bukan dari kalangan akhwat/ikhwan, yang masih memakai celana, jilbab mode, atau yang sholatnya masih kilat. Bukankah disitu letak dakwahnya? Bukan hanya sekedar mengajukan atau menerima seorang yang “sudah terbentuk”.



Khawatir malah diri dhaif ini yang akan terseret arus “malas”nya. Bukankah iman naik dan turun? Nanti malah kita yang menjauh dari tarbiyah karena pasangan hidup kita “nggak ngerti”, ga se-misi dan se-visi. Banyak sudah contoh kasusnya. Alasan wajar yang sangat sering terdengar. Namun bukankah itu artinya kita ga pede? Bukankah masalah hidayah mutlak urusan Allah? Tak yakinkah kita? Tak inginkah diri ini menjadi perantaranya? Atau memang kita yang mau enaknya saja, menerima “hasil” daripada harus berupaya “mengajarkan” dan belajar.



Bukankah menikah adalah proses belajar tak henti bersama pasangan? Sama-sama memperbaiki diri hingga bisa menjadi semakin indah, semakin bercahaya. Bukankah sudah banyak juga cerita ikhwan akhwat yang menikah, namun setelah menikah, jamaah shubuhnya bolong? Dan lain-lain.. ga ada jaminan kita akan terus baik baik saja nantinya. jika demikian, mengapa HARUS menginginkan seorang yang sempurna untuk dimiliki? Mengapa tidak menjadi penyempurna baginya dan diri ini? Tidakkah termasuk sombong jika kita menganggap diri kita seorang yang baik dan pantas mendapat seorang yang baik pula sebagai pendamping hidup kita?



Seperti kata ustad Salim A Fillah dalam suatu kesempatan pada kajiannya, ketika menikah adalah mengubah ekspetasi menjadi obsesi. Menikah dengannya bukan karena ia cantik, hafal Al Quran, pintar memasak, atau bukan pula karena ia sholih, tampan, mapan, dan seabrek karena..karenanya yang lain. Itu ekspetasi. Namun, apa yang dapat saya lakukan untuk pasangan saja. Sebagai istri, saya akan belajar memasak untuk suami saya; saya akan berusaha tampil cantik untuk suami saya, saya harus terus berusaha menghafal Al-Quran agar dapat mendidik anak-anak saya menjadi generasi penghafal Al-Qur’an, atau saya harus bisa lebih on time dan shalat berjamaah di mesjid agar dapat menjadi contoh baik bagi anak-anak saya, saya akan berusaha sekuat tenaga mengupayakan rezeki yang halal nan thoyyib untuk keluarga saya, dan obsesi-obsesi lainnya. (Maaf jika saya salah memahami penuturan ust.Salim).



Akhwat dan ikhwan pun bukan orang yang sempurna. Apa yang tampak sempurna diluar, belum tentu sesempurna zahirnya. Dalam berteman saja, apabila kita ingin berteman, jangan karena kelebihannya, mungkin dengan satu kelemahannya, kita akan menjauhinya. Andaikata kita ingin berteman, janganlah karena kebaikannya, mungkin dengan satu keburukannya, kita akan membencinya. Andaikata kita inginkan sahabat yang satu, janganlah karena ia berilmu, karena apabila ia buntu, kita mungkin akan meninggalkannya. Andaikata kita ingin berteman,janganlah karena sifat cerianya,karena andaikata ia tidak menceriakan kita, kita akan menyalahkannya. Andaikata kita ingin bersahabat, terimalah seadanya, karena dia seorang sahabat yang hanya manusia biasa,jangan diharapkan sempurna, karena kita juga tidak sempurna..



Mengutip taujih dari seorang kakak yang kemudian selalu saya pantri dalam benak hati saya,

buat saya bukan hal utama menikah dengan siapa

Tp bagaimana niatnya, bagaimana prosesnya dan bagaimana tujuannya.



menikah itu proses yang panjang.. Terkadang kita yang menguatkan, tak jarang pula kita yang perlu dikuatkan..

Melalui jalan yang tak pernah ditempuh sebelumnya, tak diketahui aralnya.



Jadi, "dengan siapa" bukan hal utama. Rasulullah sudah mencontohkan bagaimana cara memilih istri/suami.



Sekali lagi, bagaimana niatnya, bagaimana prosesnya, bagaimana tujuannya.

Perlu kejujuran yang benar benar jernih untuk mempertanggungnjawabkan semuanya kpd Allah





Bukankah antara “Di Jalan Dakwah Aku Menikah” dan “Di Jalan Nikah Aku Berdakwah” adalah kebaikan yang sama?



Tulisan ini, atas kesalutan saya padanya.. dan saya sangat berbahagia atas niatnya baiknya, semoga Allah meridhai dan memudahkan niat-niat baik dalam hati kita.. =)

















Sungguh-sungguh saya minta maaf jika tulisan ini terkesan berpikiran "nyeleneh", mohon diluruskan jika terdapat kekeliruan..

Cinta tak sama..

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu..

Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu..



Terhenti gerak jariku mengetuk tuts-tuts keyboard saat lirik sendu itu tertangkap indera pendengaranku. Hh.. sosok itu. Beberapa hari ini aku kerap memikirkannya, rindukah? Sejujurnya Ya.



Bagaimana mungkin aku bisa tak merindunya, sedang hariku di masa-masa yang lalu dipenuhi oleh kehadirannya, candanya, tawanya, nasehatnya, semua perhatian dan pengertiannya. Dan kemudian aku terpaksa meninggalkannya karena laki-laki yang kukenal bahkan tak sampai setengah tahun. Laki-laki yang kemudian menjadi suamiku. Menyesalkah aku kini karena meninggalkannya? Padahal kusadari benar betapa cinta membuncah dalam dada pada sosok itu. Sosok yang kutinggalkan saat aku menikah.



Gundah. Perasaan apa ini? Ah, mungkin hanya rasa sesaat karena romansa masa lalu yang demikian melekat. Terlalu berlebihan jika rindu yang tiba-tiba menyergap membuatku berkesimpulan kalau aku menyesal pada pernikahanku. Tidak. Aku bahagia.. bahagia dengan keluarga kecilku ini. Hanya saja, hh..ya, aku merindunya, itu saja.



Aku mau mendampingi dirimu

Aku mau cintai kekuranganmu

Selalu bersedia bahagiakanmu, apapun terjadi..

Kujanjikan aku ada..



Kulihat kembali urutan lagu di media player yang telah kubuat random sebelumnya. Mengapa seolah saat ini yang teracak seakan menyindir mengingatkan perasaan masa lalu yang tak sadar mungkin masih terasa lekat di dada.



Bukannya mematikan, aku justru menikmatinya. Menikmati setiap slide rekaman masa lalu bersama sosok itu. Mengingat-ingat utuh wajahnya. Rahangnya yang tegas. Kulit coklatnya. Perawakannya yang kurus, tegap pasti setiap melangkah.



Aku akan selalu mendampinginya, seperti sosoknya yang selalu ada untukku. Janji itu, meski hanya dalam hati terucap berulang kali, namun begitu kuat mengakar berharap nyata. Ah, apa-apaan aku ini. Aku sudah menikah, dan sudah seharusnya suamikulah yang bertahta diingatanku, hatiku. Yang mencintaiku, dan juga selalu ada untukku. Seperti sosok itu..



Ah, lagi-lagi sosok itu, ada apa dengan aku ini? Sekuat apapun aku berusaha, tetap tak dapat menyangkal, aku masih dan selalu mencintainya. Aku merindukannya.



“Insya Allah melangkahlah, jika ada kebaikan datang pantaskah ditolak tanpa memegang alasan syar’i? Semoga Allah memudahkan niat baiknya dan niat baikmu menyempurnakan yang separuh menjadi utuh dalam keridhaanNya.” Jawaban mantapnya saat aku menyatakan bahwa aku akan menikah dengan laki-laki yang menjadi suamiku kini. Jawaban yang membuatku tergugu. Mengaduk-aduk perasaan. Entah bahagia atau nelangsa karena menyadari aku akan berpisah dengannya. Tak dapat melihatnya lagi setiap hari. Dan mungkin, tak dapat selalu bercengkerama canda padanya lagi, sesering biasanya.



Suamiku, maafkan aku karena membuatmu cemburu..

Maafkan aku karena ternyata cintaku untukmu belum utuh hanya satu

Maafkan aku yang tak dapat memungkiri betapa cintaku pada sosok itu masih demikian lekat menyengat dalam dekap..

Bukan aku tak mencintaimu, Suamiku..

Bukan..

Aku mencintaimu dan akan terus mencintaimu..

Cinta yang terus tumbuh berkembang hingga ke JannahNya, insya Allah..

Namun cintaku pada sosok itu berbeda,

Cinta yang tak dapat kujelaskan dengan kata..

Cinta yang tak dapat kuhapuskan meski..meski ku telah menikah denganmu..

Maafkan aku..

Maafkan aku..

Kuyakin kau pasti memahaminya..



Rindu ini, rindu yang menyergap kuat tak terbantah, aku hanya ingin mengetahui kabarnya. Itu saja. Memastikan saat ini sosok itu baik-baik saja. Dan, yah..semoga sosok itu menangkap rinduku..



Teruntuk lelaki pertama yang kucintai dan mencintaiku, apa kabar?

Semoga rinduku sampai padamu, semoga sehat selalu..



With love, Ayah..



Sent mail



Lega…

Senin, 09 Januari 2012

Apa itu Barakah?

Menarik sekali pertanyaan ini, pertanyaan yang telah menyadarkanku akan arti dan makna penting dari Barakah. Walaupun saya belum menjalankan sunnah ini. Tapi saya belajar banyak. Semoga bisa menjadi bekal dalam menjalani kehidupan ini agar semakin barakah. Berikut, ringkasan pembahasan tentang Barakah.

***

Secara sederhana barakah adalah bertambahnya kebaikan dalam setiap kejadian yang kita alami waktu demi waktu. Ketika Allah mencintai hambaNya, maka Ia berkenan membuat hati sang hamba begitu peka. Syukur dalam lautan nikmat, Sabar dalam gelombang musibah. Ia menapaki jalan-jalan Sulaiman, sekaligus juga menyusuri pematang-pematang Ayyub, ‘alaihissalam.

Barakah, dalam bahasa Aa Gym adalah kepekaan untuk bersikap benar menghadapi masalah. Barakah, dalam kekata Ibnul Qayyim adalah, semakin dekatnya kita dengan Rabb, semakin akrabnya kita dengan Allah. Barakah, adalah umpama ‘umar ibn Khaththab adalah dua kendaraan yang ia tak peduli harus menunggang yang mana: shabr dan syukr. Barakah, dalam pujian Sang Nabi adalah keajaiban. Keajaiban yang menakjubkan!

Barakah, mengubah kalimat “ Ini salahmu..!”, menjadi “ Maafkan aku, Cinta..” Ia mengganti diksi, dari ”Kok bisa-bisanya sih kamu..!”, menjadi “Aku mengerti, Sayang, sabar ya..” Barakah juga melafazhkan, “Kamu kemana saja sih..?” agar terdengar, “Aku disini, menantimu dalam rindu yang menyesak..” Dan ia membahasakan “ Aku tuh sebenarnya ingin, kamu..!”, agar berbunyi, Cinta, makasih ya, kau membuatku..”

Subhanallah, indah sekali, bahasa barakah. Logatnya logat cinta..


Bagaimana kita meraih barakah itu? Bagaimana agar dalam kondisi apapun, kapanpun, di manapun, nafas-nafas kita adalah hembusan keberkahan, detik-detik kita dihitung sebagai kebaikan, sebagai pahala. Bagaimana? Dimanakah kita harus mencari barakah itu?

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan bukakan atas mereka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(Q.S. Al A’raaf: 96 )

Kunci barakah itu ada pada keimanan dan ketakwaan. Keimanan yang meyakinkan kita untuk terus beramal shalih menurut apa yang telah dituntunkan Allah dalam tiap aspek hidup, semuanya. Dan ketaqwaan, yang mengisi hari-hari kita dengan penjagaan, kepekaan, dan rasa malu bahwa kita senantiasa dalam pengawasan Allah. Jika hidup kita terasa menyiksa, hidup terasa sempit, terasa kita makin jauh dari Allah, mari, saya mengajak diri saya dan anda untuk berkaca. Barangkali ada nikmat Allah yang kita kufuri. Barangkali ada karunia yang kita dustakan. Atau mungkin ada ayat-ayatNya yang kita permainkan. Astaghfirullaahal ‘adziim…

Ada banyak jalan yang ditawarkan menuju kebahagiaan. Tetapi tiada yang menjamin khatimah-nya. Kecuali jika kita memilih memprioritaskan barakah. Bahwa di saat apapun barakah itu membawakan kebahagiaan. Sebuah letup kegembiraan di hati, kelapangan di dada, kejernihan di akal, dan rasa nikmat di jasad. Barakah itu memberi suasana lain dan mencurahkan keceriaan musim semi, apa pun masalah yang sedang membadai rumah tangga kita. Barakah membawakan senyum meski air mata menitik-nitik. Barakah menyergapkan rasa rindu di tengah kejengkelan. Barakah itu menyediakan rengkuhan dan belaian lembut di saat dada kita sesak oleh masalah.

***

Disarikan dari buku “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim” karya Salim A Fillah, Bagian Keempat: Menenun jalinan Cinta, Sub Bab: Barakah, dengan beberapa edit&perubahan. (Semoga beliau mendapatkan keberkahan dari tulisan dakwahnya).

Barakallahu laka, Salim A Fillah…, karya-karyamu sungguh luar biasa…

Untuk Bapak Ibuku, adik-adikku, saudaraku, para Guru yang telah mengajar dan mendidikku, Teteh, Aa, Ade, sahabat-sahabatku, dan kaum mukmin muslim kuucapkan doa untukmu semua, “ Barakallahu lakum wabaraka ‘alaikum… Semoga rahmat, berkah dan kasih sayang Allah tercurah kepadamu semua.. Amiin