Berawal dari celotehan ponakan seorang kawan, “Om, tahu gak, siapa pahlawan masjid?” Si om sempat dibuat bingung dengan pertanyaan ponakan yang masih bocah itu. Saat kawan saya melontarkan pertanyaan yang sama pun, saya sempat bingung. Siapa, ya, pahlawan masjid? Mungkinkah itu ketua DKM, pengurus DKM, imam besar, ustad yang sering kasih pengajian, atau para jamaahnya. Setelah menyerah, si bocah menjawab innocent, “Ya, Pattimura, dong!” Haaa, saya langsung melongo (dengan ekspresi datar selama 10 detik). Hmmm, betul juga itu bocah, memang pahlawan yang sering “nongkrong” di masjid paling banyak biasanya Kapitan Pattimura yang berpose gagah dan berwibawa (meski lebih mendekati garang) dalam duit Rp1.000,- yang mendekam dalam kotak amal jariyah.
Kotak amal jariyah (dalam bahasa Sunda, disebut koropak) adalah salah satu “aksesori” wajib yang biasanya ditemukan di masjid-masjid, baik masjid kecil (langgar, mushala) hingga masjid raya sekalipun. Yaitu, tempat yang digunakan untuk “menampung” uang dari para jamaah masjid yang dermawan. Bentuk kotak amal jariyah, ya sesuai namanya–kotak–biasanya juga berupa kotak, meski ada juga yang dimodifikasi jadi berbagai bentuk, seperti bentuk kubah masjid, mobil-mobilan (dikira penitipan anak, kali, ya?), kotak beroda, bahkan ada juga yang bentuknya keranda jenazah. Mungkin, dengan demikian, orang akan lebih termotivasi untuk bersedekah mengingat dihadapkan pada keranda jenazah mini. Dan, yang paling penting, kotak amal jariyah harus memiliki lubang yang panjangnya sekitar 5 cm dan lebar yang hanya beberapa mili. Yang penting, uang koin dan kertas yang dilipat bisa masuk. Jangan terlalu lebar, apalagi sampai bisa dimasuki tangan. Bahaya!
Kotak amal jariyah selalu tersimpan dalam keadaan terkunci. Jika tidak dikunci, dikhawatirkan memancing tangan-tangan jahil untuk mencicipi kriminal. Kotak amal jariyah, ada yang disimpan secara permanen di satu posisi, misalnya di bagian depan pas pintu masuk atau di beberapa penjuru masjid. Ada pula kotak amal jariyah yang kemunculannya bersifat insidental, misalnya kotak amal jariyah yang biasa “keliling” saat shalat Jumat, saat pengajian, saat acara-acara PHBI, dan beberapa acara yang biasa diadakan masjid. Isinya? Tentu isinya adalah uang. Saya belum pernah menemukan kotak amal jariyah di masjid yang isinya selain dari uang, semisal permen, rokok, surat pengaduan, atau apapun yang bisa masuk lewat lubang keci. Uangnya pun beragam nominal, terdiri dari uang logam dan kertas.
Kebetulan, bapak saya adalah ketua DKM di salah satu masjid jami (tingkat dusun). Biasanya, selepas ibadah shalat Jumat setiap minggunya, beliau dan para pengurus suka “membongkar” kotak amal jariyah yang sudah keliling mulai shaf depan hingga shaf belakang. Biasanya, saat kotak amal jariyah melintasi shaf awal, akan berjalan lambat. Namun lama-lama, saat melintasi shaf ujung, kotak amal jariyah berjalan semakin cepat. Apalagi jika satu shaf diisi bocah SD, kotak bakal berjalan ngebut ekspress, sama sekali gak berhenti. Setelah dibongkar, maka akan keluarlah banyak “pahlawan” dari si Kotak Amal Jariyah itu. Meski perwajahan para pahlawan itu dalam kondisi yang berbeda-beda, ada yang masih mulus, ada sudah lusuh, kusut, kucek, bau mesin ATM atau bau tomat.
Jumat pekan lalu, iseng-iseng saya ikut nimbrung bapak “membelah” duren, ups, kotak amal jariyah. Ingin membuktikan, celotehan ponakan kawan saya di atas, benarkan Pattimura adalah pahlawan yang “rajin” ke masjid. Setelah dibuka, kotak terdiri dari uang kertas dan logam. Saya cuma memerhatikan para pengurus DKM menghitung. Alhasil, yang pertama tentu masih didominasi oleh Kapitan Pattimura, kedua Pangeran Antasari, ketiga Pangeran Diponegoro, keempat Sultan Mahmud Badarudin II, kelima Oto Iskandar Di Nata, dan … di posisi keenam, hanya ada seorang I Gusti Ngurah Rai. Hmmm, nampaknya masih ada yang kurang. Saya coba berpikir keras–seperti mengingat-ingat sesuatu–dan yaaa, saya sadar bahwa para punggawa negeri, sang Proklamator Soekarno-Hatta nampaknya tidak hadir pada Jumat kali itu.
Isi kotak amal sudah selesai dihitung. Meski hasilnya cukup besar dari segi angkanya, saya yang baru sekali itu ikut nimbrung “membongkar” kotak amal jariyah, kecewa karena founding father negeri ini ternyata tidak ikut shalat Jumat waktu itu. Ternyata, tidak ada yang jamaah yang berkenan memasukkan “Soekarno-Hatta” ke dalam kotak amal jariyah. Tapi, saya yakin itu bukan karena keengganan, melainkan “para pahlawan tersebut” sudah jarang dimiliki para tetangga saya, dan termasuk saya dan keluarga. Meskipun ada, tentu jadi barang langka. Saya saja melihat mereka nyelip di dompet saya sangat jarang. Dalam sebulan, paling ketemu beberapa kali dalam dompet dan dalam hitungan menit sudah bertukar pahlawan-pahlawan lainnya. Berbahagialah Anda yang sudah terbiasa “tinggal” bersama kedua pahlawan tersebut. Semoga jadi refleksi bagi semua.
P.S. Pesan khatib yang saya ingat dari shalat Jumat tadi siang.
Q.S. Al-Baqarah [2]: 254 “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim.”
Ayo, silakan pilih. Siapa pahlawan yang mau Anda masukan kotak amal jariyah! :)
"Pahlawan" manakah yang paling sering kita bawa ke mesjid? :)
sumber tulisan di atas : http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/20/faktanya-soekarno-hatta-sangat-jarang-ke-masjid/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar