“Malam Jum’at lalu, aku baru mengajak seorang wanita untuk menikah..”
Hm, sebenarnya bukan suatu pernyataan aneh mengingat yang menyampaikan adalah seorang pria yang matang dan mapan sepertinya. Namun tak urung pernyataannya menghentikan gerak tanganku yang sedang mengetik dan menolehkan pandangan ke arahnya, serius.
Singkat kata, penuturan-penuturannya membuat aku tak hanya terperangah, tak henti hati mengucap tasbih.
Pria ini, benar belum sampai setengah usiaku dihabiskan untuk mengenalnya, namun bisa jadi kupahami bagaimana ia,meski pasti tak seluruhnya.
Seorang yang tegas, hingga tak sekali dua aku merasa ia tak sekedar kaku, seriusan, namun juga terkadang menyebalkan, dan juga galak. Pekerja keras. Dan kupahami dari perjuangannya dan pancaran kebanggaan adik-adiknya, keluarganya, bahwa ia sosok kakak yang luar biasa. Cerdas, berwawasan, mapan, dengan adik-adik yang menyenangkan, dan insya Allah seorang yang shalih. Ada lagi? Ah, akan terlalu berlebihan jika aku terus memaparkan tentangnya :D Walaupun tentunya, diantara kelebihan yang ada terdapat kekurangan yang mengiringi, namun bukankah saat berteman sebaiknya kita seperti memandang rembulan, melihat dari sisi keindahannya, bukan buruk permukaannya.
Dengan “yang melekat” pada dirinya, bisa saja ia memilih perempuan yang “sempurna”. Yang cantik, sholihah, dan seabrek kelebihan lainnya. Seperti yang dilakukan kebanyakan ikhwan, mencari yang “sesempurna” mungkin dengan berbagai kriteria plus. Padahal kalau mau jujur blak-blakan, ikhwannya ga ada apa-apanya.
Wanita pilihannya, adalah sosok yang sangat unik. Sosok yang sangat manja, agak “pembangkang”, yang selalu dituruti semua keinginannya, sedang menapak tahap-tahap belajar dalam menabung amalan-amalan diri untuk menjadi semakin indah, semakin bercahaya. Pilihannya bukan akhwat yang sempurna. Ia yakin, wanita pilihannya, seorang yang memiliki kepribadian yang positif. Sangat disayangkan jika dibiarkan dalam “kekurangannya”.
Menurut saya, ini luar biasa. Mengapa?
Cobalah melihat diri-diri yang merasa “baik” dan menginginkan seorang yang baik atau lebih baik. Jika Akhwat, kebanyakan mendambakan ikhwan yang shalih, yang tarbiyah, yang menghafal Al-Quran, yang mapan, dan yang..yang..lebih lainnya. Dan ikhwan? Sama persis mesti tak sama. Mendambakan akhwat yang sholihah, cantik, hafal Al-Quran, kalem, lembut, keibuan, bahkan ada yang mencantumkan “bekerja/PNS/dokter” sebagai criteria istri pilihan. Kebanyakan mendambakan pendamping yang “sudah terbentuk”. Sudah baik, dan berharap semakin baik. “Kalau ga tarbiyah, ga mau” atau “yang penting si dia ada ikut tarbiyah”. Sepertinya terdapat pula “kebanggaan” dari nada-nada yang ada, jika yang menikah, ntah ikhwan atau akhwatnya adalah “bintang” aktivis dakwah. Keren..
Dan (maaf) beberapa kakak pengajianpun juga ada yang “keberatan” jika si calon bukan dari kalangan tarbiyah. Tak ada yang salah memang dengan kriteria-kriteria idaman kita. Wajar sangat, jika kita dan kakak-kakak kita menginginkan seorang yang baik atau yang kita nilai lebih baik untuk menjadi pendamping hidup kita, dunia akhirat. Tak salah. Dan tak salah juga, jika yang menikah kemudian hanya diantara “kita..kita’’ saja. Para kader tarbiyah.
Ah, saya bukan seorang yang cerdas memakai kata dalam bahasa. Namun, pernahkah kita sekedar berpikir mungkin, “bagaimana jika aku menikah dengan seorang ‘biasa’?” bukan dari kalangan akhwat/ikhwan, yang masih memakai celana, jilbab mode, atau yang sholatnya masih kilat. Bukankah disitu letak dakwahnya? Bukan hanya sekedar mengajukan atau menerima seorang yang “sudah terbentuk”.
Khawatir malah diri dhaif ini yang akan terseret arus “malas”nya. Bukankah iman naik dan turun? Nanti malah kita yang menjauh dari tarbiyah karena pasangan hidup kita “nggak ngerti”, ga se-misi dan se-visi. Banyak sudah contoh kasusnya. Alasan wajar yang sangat sering terdengar. Namun bukankah itu artinya kita ga pede? Bukankah masalah hidayah mutlak urusan Allah? Tak yakinkah kita? Tak inginkah diri ini menjadi perantaranya? Atau memang kita yang mau enaknya saja, menerima “hasil” daripada harus berupaya “mengajarkan” dan belajar.
Bukankah menikah adalah proses belajar tak henti bersama pasangan? Sama-sama memperbaiki diri hingga bisa menjadi semakin indah, semakin bercahaya. Bukankah sudah banyak juga cerita ikhwan akhwat yang menikah, namun setelah menikah, jamaah shubuhnya bolong? Dan lain-lain.. ga ada jaminan kita akan terus baik baik saja nantinya. jika demikian, mengapa HARUS menginginkan seorang yang sempurna untuk dimiliki? Mengapa tidak menjadi penyempurna baginya dan diri ini? Tidakkah termasuk sombong jika kita menganggap diri kita seorang yang baik dan pantas mendapat seorang yang baik pula sebagai pendamping hidup kita?
Seperti kata ustad Salim A Fillah dalam suatu kesempatan pada kajiannya, ketika menikah adalah mengubah ekspetasi menjadi obsesi. Menikah dengannya bukan karena ia cantik, hafal Al Quran, pintar memasak, atau bukan pula karena ia sholih, tampan, mapan, dan seabrek karena..karenanya yang lain. Itu ekspetasi. Namun, apa yang dapat saya lakukan untuk pasangan saja. Sebagai istri, saya akan belajar memasak untuk suami saya; saya akan berusaha tampil cantik untuk suami saya, saya harus terus berusaha menghafal Al-Quran agar dapat mendidik anak-anak saya menjadi generasi penghafal Al-Qur’an, atau saya harus bisa lebih on time dan shalat berjamaah di mesjid agar dapat menjadi contoh baik bagi anak-anak saya, saya akan berusaha sekuat tenaga mengupayakan rezeki yang halal nan thoyyib untuk keluarga saya, dan obsesi-obsesi lainnya. (Maaf jika saya salah memahami penuturan ust.Salim).
Akhwat dan ikhwan pun bukan orang yang sempurna. Apa yang tampak sempurna diluar, belum tentu sesempurna zahirnya. Dalam berteman saja, apabila kita ingin berteman, jangan karena kelebihannya, mungkin dengan satu kelemahannya, kita akan menjauhinya. Andaikata kita ingin berteman, janganlah karena kebaikannya, mungkin dengan satu keburukannya, kita akan membencinya. Andaikata kita inginkan sahabat yang satu, janganlah karena ia berilmu, karena apabila ia buntu, kita mungkin akan meninggalkannya. Andaikata kita ingin berteman,janganlah karena sifat cerianya,karena andaikata ia tidak menceriakan kita, kita akan menyalahkannya. Andaikata kita ingin bersahabat, terimalah seadanya, karena dia seorang sahabat yang hanya manusia biasa,jangan diharapkan sempurna, karena kita juga tidak sempurna..
Mengutip taujih dari seorang kakak yang kemudian selalu saya pantri dalam benak hati saya,
buat saya bukan hal utama menikah dengan siapa
Tp bagaimana niatnya, bagaimana prosesnya dan bagaimana tujuannya.
menikah itu proses yang panjang.. Terkadang kita yang menguatkan, tak jarang pula kita yang perlu dikuatkan..
Melalui jalan yang tak pernah ditempuh sebelumnya, tak diketahui aralnya.
Jadi, "dengan siapa" bukan hal utama. Rasulullah sudah mencontohkan bagaimana cara memilih istri/suami.
Sekali lagi, bagaimana niatnya, bagaimana prosesnya, bagaimana tujuannya.
Perlu kejujuran yang benar benar jernih untuk mempertanggungnjawabkan semuanya kpd Allah
Bukankah antara “Di Jalan Dakwah Aku Menikah” dan “Di Jalan Nikah Aku Berdakwah” adalah kebaikan yang sama?
Tulisan ini, atas kesalutan saya padanya.. dan saya sangat berbahagia atas niatnya baiknya, semoga Allah meridhai dan memudahkan niat-niat baik dalam hati kita.. =)
Sungguh-sungguh saya minta maaf jika tulisan ini terkesan berpikiran "nyeleneh", mohon diluruskan jika terdapat kekeliruan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar