Jumat, 29 Juli 2011

...

Ketika akan menikah, apa yang dipertimbangkan?
Bibit bebet bobot?
Jika ketiga tidak dimiliki, maka jangan berharap akan pernikahan.
Jangankan berharap laki-laki sholeh akan melamarmu, bermimpipun tak pantas. Bagai punguk merindukan bulan. Hanya fatamorgana. Seakan memberi angan. Padahal tidak.

Terlebih termasuk kaum papa. Tak berpunya akan harta. Buang jauh angan akan pernikahan.

Lagi, ada cerita lalu berwarna kelam. Yang disebar tersebar. Sesungguh apapun berusaha menjadi lebih indah. Tetap yang tersapu mata para pelihat adalah keburukan. Hanya keburukan. Baik yang terlontar lisan maupun hanya tersimpan dalam prasangka. Buruk!

Kemudian pernah memilih. Memilih menunggu bersama sesuatu bernama setia. Tak diminta. Hanya menunggu, mengabaikan menjadikan yang lain berlalu hingga ia datang sesaat. Sangat sesaat tak lebih cepat dari kedipan mata.

Menyesalkah?
Meski kemudian tak jua satu.
Menyesalkah?
Mengabaikan lain pada yang tak pernah menjadi satu.

Harusnya menjadi marah, kecewa, sedih atas satu yang bersebut sia-sia? Harusnya, ya.
Tapi kemudian memilih tidak.

Meski mereka menjadikan caci,
membuat rasa menjadi terpojok, terkucil, dan terpuruk.
Tapi tak memilih kata sesal, karena pernah memilih untuk mendekap setiap pada sia-sia..


***

Ketika telah memilih untuk bertahan pada penantian, ketika itu adalah kesadaran penuh hanya satu yang dituju. Mengabaikan setiap kesempatan menjadi lalu, berlalu. Meski semua berakhir sia. Kembali menerima kelapangan menjadi pilihan. Sungguh tak menyalahkan. Mencoba menjadikan semua pelajaran. Karena seharusnya diri papa menyadari sejak dini, setia adalah sia-sia. Punguk bodoh jika merindukan bulan.



Biar orang berkata apa tentang saya..karena hakikahnya telah lama telinga ditulikan.

Tidak ada komentar: