Beberapa hari yang lalu, saya bertemu sahabat saya. Kami bercerita banyak hal. Tentang masa-masa sekolah dulu, hingga persiapan pernikahannya yang tinggal menghitung hari. Ya,kami adalah sahabat sejak masih berseragam dulu. Sejak tujuh tahun yang lalu.
Pada satu bagian pembicaraan, berkali-kali saya mengangguk pada uraian kalimatnya. Karena mungkin, demikianlah yang pernah saya rasakan dulu.
Dulu, ketika ada waktu dimana saya pernah gagal menyemai asa. Ketika yang tertuai, hakikahnya bukan rasa bernama kecewa. Namun ia adalah kesedihan. Kesedihan merasa belum dipercaya. Belum dipercaya untuk menjadi seorang istri. Pendamping, pasangan bagi seseorang, di usia yang nyaris menyentuh seperempat abad.
Hari-hari setelahnya, Allah bukakan tabir hikmah bagi saya, seolah IA menjelaskan 'inilah alasan AKU belum menjadikanmu sebagai pasangan atas diri seseorang'
Terus berjalan waktu, berlari, dan saya berusaha untuk terus mengejarnya, melewati berbagai cerita dengan banyak pelajaran dan hikmah. Allah pertemukan saya dengan banyak orang-orang baru,yang membuat saya tak sekedar belajar, tapi juga bercermin.
Belajar. Belajar lebih nyata, betapa menjadi seorang istri tak selalu indah seperti yang tertera dalam kisah-kisah romantis after married, jika masih ada jiwa bebas dan lepas dalam diri.
Melihat lebih dekat dan kemudian mencoba belajar, menjadi sosok yang bergelar IBU tak sesederhana yang sering terlihat kasat mata..
Mungkin melulu berbicara betapa bahagianya saat-saat mereka bayi. Adalah canda riang pada masa-masa anak mulai belajar jalan,berbicara. Dan kesibukan mulai terasa ketika mereka telah masuk usia sekolah. Kelas 1,2, atau kelas 3 Sekolah Dasar.
Namun, saat mendengar kemudian menghadapi para buah hati ayah bunda pada fase-fase pubertas, masa-masa mencari jati diri, mulai tumbuh sikap 'berontak' bahkan membangkang, pada sosok -sosok pencari jati diri itu, saya sampai tercenung, mampukah saya?
Ternyata menghadapi keseharian para ababil aka abege labil, saat-saat SD kelas 6, SMP, SMA, tak se-simple yang tampak dari satu atau dua kali pertemuan dalam sepekan.
Hebatnya, Allah menghadirkan pada saya contoh sikap seorang ibu (melalui beberapa orang ibu) yang berbeda-beda saat menghadapi masa-masa transisi fase remaja itu, melalui berbagai cerita dan tontonan 'siaran langsung'.
Seperti Allah menunjukkan berbagai alternative sikap atas tingkah-tingkah anak. Menyiratkan, mana yang baik, terbaik, atau bahkan tidak baik jika diterapkan pada anak.
Dan lagi, saya bercermin. Mengingat-ingat diri saya yang masih sering kolokan, kadang pundungan meski frekuensinya sudah jauh berkurang. Saya yang masih keras kepala dan mungkin masih suka egois. Mampukah saya? Menjadi seorang istri, menantu, ipar yang baik bagi suami, mertua dan saudara-saudara suami saya kelak? Yang dicintai dan mencintai mereka.. Menjadi seorang ibu sekaligus sahabat bagi anak-anak saya kelak, mendidik mereka agar tak salah arah, mampukah saya?
Tercenung. Ada keraguan menelusup dalam hati saya.Tergugu menyadari betapa saya mungkin memang belum pantas atas amanah besar tersebut.
Terisak menyadari keegoisan diri. Dan, jika saat ini adalah kesedihan yang sama yang harus saya hadapi, Insya Allah,saya lebih siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar