Alkisah, kami- saya dan suami (cie) belum memiliki cermin meski sepotong kecil. Bagi saya, tiada masalah, toh sejak sebelum nikah saya memang jarang bercermin. Namun, hal itu ternyata menjadi masalah serius bagi suami saya yang hobi bercermin :D
Pasalnya, untuk mencabut kumisnya, cermin adalah salah satu benda yang sangat dibutuhkan.
Singkat cerita, di suatu sore, suami saya sudah sangat tidak nyaman dengan keadaan kumisnya yang semakin subur dan lebat, mungkin khawatir berubah menjadi hutan rimba hingga dapat mengurangi kecakapan dalam berkomunikasi jika kumis tumbuh sampai menutupi bibir seperti tirai (:D *sang istri ngebayangi jika kumis sepanjang tirai jendela) , padahal beliau salah satu frontliner di kantornya.
Akhirnya, beliau pun meminta saya untuk mencabut kumisnya pakai genset eh pingset.
"Hah? Pakai pingset? Kenapa ga dicukur aja?"
"Ga enak, nanti cepat panjang lagi, biasa dicabut"
Setelah negosiasi harga (lho?) Akhirnya saya dengan ikhlas serta berlapang dada mencabutkan timbunan kumis suami saya.
....
1
5
10
... dst
Selesai sudah sebelah bagian kumisnya saya cabut.
Ketika akan mulai mencabuti bagian yang sebelah lagi, tiba-tiba saya merasa sangat mual, lemas, pandangan berkunang-kunang, dan menghentikan pekerjaan mulia tersebut dengan terpaksa. Buru-buru baringan sebelum pingsan lagi.
Sampai keesokan pagi saya masih kurang sehat hingga belum dapat melanjutkan penyelesaian tugas mulia tersebut. Kebetulan itu hari sabtu, Suami tak kerja jadi masalah sepotong kumis yang belum dicabut itu bukan menjadi masalah serius. Namun, ternyata kenyataan tak seindah yang dibayangkan. Menjelang siang, ibu mertua saya, meminta suami saya untuk pergi ke beberapa tempat. Suami pun segera pergi dengan motor. Point nya, beliau lupa dengan sepotong kumisnya yang masih utuh belum dicabut. Saya pun tak teringat dengan nasib kumisnya tersebut. Tidur.
Kira-kira setengah jam kemudian suami saya pulang, masuk kamar, membangunkan saya sambil memegang pingset. Dengan wajah penuh pengharapan, suami saya meminta saya menyelesaikan kumis yang sisa sepotong lagi itu. Saya belum sadar penuh, hingga saat saya benar-benar membuka mata dengan jelas, saya baru menyadari innocent sekali wajah suami saya dengan sepotong kumisnya, sebelah lebat sebelah bersih. Ternyata, orang-orang pada senyum-senyum melihatnya. Suamiku, maafkanlah .... *sungkem
Tulisan ini sudah atas persetujuan suami *istri baik :P
Kamis, 09 Mei 2013
Catatan Pernikahan I : Menikah dengan orang yang dicintai atau mencintai orang yang menikahi?
"Kamu bahagia, Sa?" Tanya seorang sahabat pada obrolan santai kami saat sebulan usia pernikahan saya.
Saat itu, saya menjawab "Ya" dengan keyakinan ... jujur, belum 100%
"Apakah saya bahagia?" Hati kecil saya mengulang pertanyaan teman saya.
Sahabat saya tersebut, mungkin bukan tanpa alasan menanyakan hal tersebut, beliau tahu ... pernah ada kisah sendu, rindu, pilu, ragu beberapa waktu sebelum saya memutuskan untuk menikah. Sebuah langkah besar, kilat, dan tak terduga. Bahkan, bagi saya pribadi.
Hati kecil saya tak hanya sekali mengulang pertanyaan tentang kebahagiaan tersebut. Hingga hari ini, siang ini, jam dan menit serta detik ini, saya semakin mantap dengan jawaban betapa bahagianya saya. Bahagia menjadi seorang istri, menantu,ipar, dan bahaia sebagai calon ibu, insya Allah ....
Bagaimana bisa saya tidak bahagia memiliki seorang suami yang begitu sabar, menyayangi saya, dan menerima saya apa adanya. Begitu banyak kekurangan saya, keburukan, masa lalu yang ternyata tak seindah surga. Meyakinkan saya, bahwa hari ini dan selanjutnya adalah melangkah ke depan, bukan ke belakang. Menjadi lebih baik, lebih baik, lebih baik lagi, insya Allah .... tak menuntut saya untuk bisa melakukan ini-itu, menjadi seperti yang diinginkannya, menjadi sempurna. Meyakinkan saya,meski saya tak sempurna, saya tetap bidadarinya .... fabiayyi alaa irrabbikuma tukadzdziban .... lantas, adakah lagi alasan bagi saya untuk tak bahagia hidup bersamanya?
Saat itu, saya menjawab "Ya" dengan keyakinan ... jujur, belum 100%
"Apakah saya bahagia?" Hati kecil saya mengulang pertanyaan teman saya.
Sahabat saya tersebut, mungkin bukan tanpa alasan menanyakan hal tersebut, beliau tahu ... pernah ada kisah sendu, rindu, pilu, ragu beberapa waktu sebelum saya memutuskan untuk menikah. Sebuah langkah besar, kilat, dan tak terduga. Bahkan, bagi saya pribadi.
Hati kecil saya tak hanya sekali mengulang pertanyaan tentang kebahagiaan tersebut. Hingga hari ini, siang ini, jam dan menit serta detik ini, saya semakin mantap dengan jawaban betapa bahagianya saya. Bahagia menjadi seorang istri, menantu,ipar, dan bahaia sebagai calon ibu, insya Allah ....
Bagaimana bisa saya tidak bahagia memiliki seorang suami yang begitu sabar, menyayangi saya, dan menerima saya apa adanya. Begitu banyak kekurangan saya, keburukan, masa lalu yang ternyata tak seindah surga. Meyakinkan saya, bahwa hari ini dan selanjutnya adalah melangkah ke depan, bukan ke belakang. Menjadi lebih baik, lebih baik, lebih baik lagi, insya Allah .... tak menuntut saya untuk bisa melakukan ini-itu, menjadi seperti yang diinginkannya, menjadi sempurna. Meyakinkan saya,meski saya tak sempurna, saya tetap bidadarinya .... fabiayyi alaa irrabbikuma tukadzdziban .... lantas, adakah lagi alasan bagi saya untuk tak bahagia hidup bersamanya?
Label:
Aku Kamu Kita,
Diantara Kita,
Keluarga,
Pernikahan
Langganan:
Postingan (Atom)