Bukan Pernikahan Biasa.. saya sendiri tidak mengerti,mengapa jari-jari saya mengetik kalimat ini.
Bukan Pernikahan Biasa. Yup, bukan pernikahan biasa.. karena, menikah (seperti kata seseorang) bukan perkara gampang dan tidak pula gampangan. Not a simple think. Tak terhitung sudah berapa kali saya membaca buku- buku tentang pernikahan, article, mengikuti seminar- seminar pra nikah, dan..mungkin telah puluhan kali pula saya mengulik dan menilik perihal pernikahan dalam bentuk tulisan. Tapi sekali lagi, baru mengalami semua sebatas teori.
Menikah. Ya, marriage is not a simple think. Dari dulu hingga sekarang pun saya kerapkali memikirkan dan belajar hal-hal seputar kehidupan dalam pernikahan. Akan seperti apa? Bagaimana? Jika ini jika itu..everything.Tapi sekarang, rasanya… terasa begitu berbeda.
Apakah tiba-tiba saya menjadi belum siap?
Belum siap menghadapi hari itu?
Hari dimana saya telah memilih dan memutuskan untuk mengarungi samudera rumah tangga lengkap dengan keindahan dan badai-badai yang pasti akan kami hadapi. Berdua. Hanya berdua.
Bertahun-tahun, saya bertahan pada satu pendirian. Melangkah mantap melalui hari-hari yang saya sendiri tidak menyangka dapat melaluinya hingga batas waktu itu tiba. Saat ini. Saat yang mungkin beberapa tahun silam saya harapkan masanya. Saat dimana masanya tak pernah lepas dari untaian doa…doa…dan doa.. semoga Allah tunjukkan jalan, yang terbaik..yang terbaik.
Mungkin saat ini berbeda. Karena, mungkin ada satu orang yang membuat hal ini menjadi berbeda. Membuat tawa dikala tarikan urat saraf. Menjadi semangat meski harus berpeluh keringat. Membuat saya percaya, kalau dia ada disaat orang lain tak ada. Yang seolah menutup telinga disaat banyak orang mencela. Tapi, sekali lagi, lupakan cinta ala remaja, sreg ga sreg, sekarang bukan saatnya lagi bicara romansa ala KCB. Yang harus saya lakukan sekarang adalah mengarahkan hati dan rasa pada Allah. Biar Allah yang menentukan kemana hati bermuara. Karena, memang jika rasa itu diarahkan selain kepadaNYA, tidak akan pernah jelas kemana arahnya..dan pada akhirnya, hanya akan bermuara di lautan dosa.
Well, Berbicara tentang menikah, biasanya mungkin hanya seuntai lalu, tapi mungkin lagi kali ini harus memikirkan secara serius. Terus terang, setiap kali memikirkan tentang kehidupan setelah pernikahan, kerapkali saya lebih memikirkan badai-badai yang (mungkin) akan menghampiri, baik sepintas lalu atau (mungkin) menguji kesabaran hingga ambang tanpa batas. Karena, yaa..menikah nggak melulu berbicara tentang keindahan, dan saya harus siap.
Saya dan mungkin juga kamu, punya ego yang sama tingginya. Punya kepala yang sama kerasnya. Punya emosi yang sama. Namun, ketika telah menikah, Ga bisa lagi mau emosi2an..ngambek2an..ego2an..ga bisa lagi ngambil keputusan sendirian.. ingat, telah ada satu orang bersama kita. Memang ada waktu untuk mengingat kekurangan, tapi kelak ada waktu untuk terpesona pada kelebihan. Ada waktu untuk menguji, kelak ada waktu untuk memuji. Ada waktu untuk memahami, dan kelak ada waktu untuk mengagumi. Kerapkali ada masanya sangatlah menjadi tidak penting mencari dan merunut siapa yang salah. Yang terlebih penting adalah siapa yang lebih dahulu bersedia meminta dan memberi maaf. Saya selalu yakin, segala hal bermula dari hati. Ketika hati kita jernih,ada kesiapan untuk belajar lebih banyak, ada semangat yang besar untuk menambah ilmu, ada hasrat yang kuat untuk memberikan yang terbaik bagi semua orang. Dan setelah hati jernih, ada ilmu yang menerangi. Kita akan belajar berdua,,memaknai setiap pelajaran sebagai sebuah upaya untuk bersama menggapai ridha Allah. Bukankah demikian komitmen awal pernikahan kita?
Dan, kembali pernikahan bukan masalah gampang dan tidak pula gampangan. Setelah menikah, kamu dan aku, bukan lagi kamu, bukan lagi aku, tapi berubah menjadi kita. Kamu dan aku dengan seabrek kepribadian berbeda, segudang kebiasaan yang tak sama,puluhan sifat yang (mungkin) bertolak belakang, latar belakang yang berbeda. Kemudian menjadi kita. Namun, bukan hanya kita yang bersatu. Karena kamu dan aku punya keluarga. Dan dalam pernikahan kita, aku dan kamu serta merta menjadikan keluarga kamu dan keluarga aku menjadi keluarga kita.
Orang tuamu, Orangtuaku.. yang akan kau nikahi ini lahir dari seorang ibu berkuah peluh, berdarah-darah meregang nyawa setelah masa panjang. Yang akan kau nikahi ini adalah permata hati ayah. Tangan yang pegal sepulang kerja pun sembuh begitu menggendong balitanya. Yang akan kau nikahi ini adalah anugerah terindah bagi orang tuanya. Tawa di saat susah, senyum di waktu sedih, harapan di saat kecewa, ramai di saat sepi, cair di tengah kekakuan, dan canda di tengah ketegangan, tapi juga ada tangis di suatu kala, yang sebenarnya tak diinginkan. Yang akan kau cintai dan nikahi ini mencintai ayah dan ibunya, dan kekasih adalah yang mencintai kecintaan kekasihnya.
Sebagaimana nanti saya memiliki mertua, yakni ayah dan ibu kamu. Kamupun memiliki mertua, yakni ayah dan ibu saya. Jika kita mencintai pasangan kita, ada konsekuensi untuk mencintai apa yang dicintainya. Ada hasrat untuk dicintai oleh yang mencintainya. Maka alangkah indah menggabungkan ibadah bakti pada mereka dengan cinta yang menyungsum tulang.
Jika misalkan ada hal yang mungkin berselisih paham. Bisakah kita sama-sama mengesampingkan dahulu segala kenyataan bagaimana kondisi mertua kita. Mengesampingkan dahulu segala prasangka dan perasaan terhadap mertua saat mendengar atau melihat amal perbuatannya. Mengesampingkan dahulu segala kejengkelan tentang bagaimana kita diperlakukan. Mengesampingkan dahulu segala alas an untuk tidak mencintai mertua kita. Bisakah nanti kita memandang dengan meminjam matahati pasangan kita? Bahwa sebagaimana kita, ia memiliki orang tua yang berhak atas dirinya. Bahwa sebagaimana kita terhadap ayah dan ibu kita, ia memiliki kewajiban untuk berbakti kepada keduanya. Mertua kita adalah orang tua dari pasangan kita di sisi yang kita cintai. Bisakah nanti kita memandang dari sudut pandang pasangan kita, tentang siapa mertua kita. Meminjam mata hatinya untuk suatu empati. Kelak merasalah menjadi pasangan kita. Saya memang belum mengalami dan merasakannya, namun saya akan berusaha menunjukkan dan membuktikan, bahwa saya bersungguh hati akan tetap menghormati orang tua kamu sebagai seorang ibu..sebagai seorang ayah..yang tidak akan bisa tergeser kedudukannya bagi kamu, suami saya. Karena, saya sangat memahami, tidak akan kedudukan seorang ibu digantikan oleh istri, namun saya pun berharap, kamu dapat menyandingkan ibu dan saya untuk tetap harmonis. Bisakah kamu melakukan hal sama atas kedua orang tua saya? Saya dan kamu saling membantu untuk berbakti kepada kedua orang tua kita dengan mencintai orang tua kita.
Jika mungkin nanti merasa sulit, katakanlah memang sulit tapi bisa. Jangan pernah mengatakan bisa tapi sulit. Marilah kita membuka hati terlebih dahulu untuk kalimat Insya Allah dan kata ikhtiar. Membersihkan halaman jiwa untuk menyambut tekad kuat itu terlebih dahulu. Dengan menjauhkan sampah prasangka-prasangka hati yang mengganggu. Dengan memaafkan segala hal yang akan menjadi lalu.
Yang saya harapkan, bukan pernikahan biasa. Mungkin, kelak saya pun berharap tak pernah ada taman lain dalam taman kita. Yang saya harapkan, bukan pernikahan biasa. Bukan pernikahan ala selebritis yang bisa saja luntur luluh lantak hancur dalam ketukan palu di ruang persidangan. Bukan. Yang saya inginkan bukan pernikahan biasa. Engkaulah kelak yang menjadi separuh agamaku, penjaga ketaatanku. Yang ingin saya jalani Bukan Pernikahan Biasa. Karea pernikahan adalah bagian dari da’wah dan jihad, semoga pernikahan bukan tempat dimana idealisme terkubur tanpa peti dan cita-cita tinggi kehabisan anak tangga. Dan semoga kita selalu ingat apa yang telah dicontohkan dengan gemilang oleh Abdurrahman ibn Abu Bakar dan isterinya, Atikah, tentang cinta yang sehat dan suci dalam kehidupan rumah tangga. Pada akhirnya, memang kedewasaan sikap dari kita yang banyak menentukan. Rumahku bukan Surga, tapi insya Allah serambinya. Jika kamupun dapat memenuhinya, maka Insya Allah, ahlan wa sahlan di serambi Surga kami.